Friday, October 19, 2012

Episode Menyampul Buku

Dulu, bisa dibilang saya paling cuek terhadap buku. Mau kavernya lecek, ketumpahan makanan, ujung kertasnya menggulung, no problemo. Eits, tapi ini berlaku buat buku sendiri yah. Kalo buku orang lain, dijamin saya bakal memeliharanya dengan baik. #cumisejati B-)

Tapi seiring rasa cinta saya yang mulai bersemi terhadap buku dan kegiatan membaca, saya mulai merasakan keasyikan sendiri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan buku, salah satunya kegiatan menyampul buku dengan plastik mika. Entah setiap berapa bulan sekali saya membeli segulung plastik mika, tapi rasanya tak tentu, tergantung pemakaian -terutama ktersediaan buku baru yang akan disampul XD.

17 buku dan sisa plastik mika

Pekan lalu, saya membeli segulung plastik mika. Setelah diperiksa, ternyata banyak buku yang belum disampul. Dan segulung plastik mika seharga Rp 6.500 itupun akhirnya hanya dapat digunakan untuk menyampul 17 buku dengan ukuran dan ketebalan yang beraneka. Dan sepertinya saya harus membeli beberapa gulung lagi mengingat masih ada buku yang belum disampul. Apalagi bulan ini saya lumayan kebanjiran buku dari hasil giveaways dan lomba resensi. Alhamdulillah yah :D

hadiah lomba resensi ping ^^

Kekhawatiran Ayah

Kadang, aku seolah menangkap kekhawatiran ayah ketika melihat anaknya tumbuh menjadi seseorang yang tak seperti perempuan pada umumnya. Mungkin ada benarnya pernyataan yang kutemukan dalam novel Rose karya Sinta Yudisia:
"Sebetulnya, ditinggal ayah atau ibu selamanya, sama saja buruknya. Ditinggal ayah kehilangan pegangan, ditinggal ibu kehilangan teladan. Beberapa teman perempuanku yang tak memiliki ibu, tak punya sense perempuan. Tidak sensitif, tidak peka. Penampilannya masih feminim, tapi sifat keperempuanan mereka nyaris hilang." -hal. 32

***
Ruang Tengah,
30 Maret 2012 pk. 18.43 wib
Lalu menatap wajah ayah yang mulai layu. Ah, kau sudah tua, Yah!

Thursday, October 18, 2012

Berjuta Rasanya

Biasa saja.

Itulah komentar yang saya lontarkan saat seorang teman meminta pendapat saya mengenai buku Berjuta Rasanya ini. Entah. Mungkin karena sudah terlalu sering membaca karya Tere Liye hingga saya tak menemukan sesuatu yang spesial dari kumpulan kisah bertemakan cinta ini. Tapi bukan berarti buku ini nggak bagus loh yaa. Mungkin saya hanya bosan saja.

Seperti biasa, Tere Liye pandai merangkai kisah sederhana namun memberikan sebuah kesan di akhir ceritanya. Dengan gaya bertuturnya yang khas, penulis mengajak pembaca untuk memahami cinta sejati lewat kelima belas cerita yang disajikan.

Simaklah pesan-pesan penulis yang terselip di antara narasi maupun percakapan antartokoh berikut:
“Seseorang yang mencintaimu karena fisik, maka suatu hari ia juga akan pergi karena alasan fisik tersebut. Seseorang yang menyukaimu karena materi, maka suatu hari ia juga akan pergi karena materi. Tetapi seseorang yang mencintaimu karena hati, maka ia tidak akan pernah pergi! Karena hati tidak pernah mengajarkan tentang ukuran relatif lebih baik atau lebih buruk.”[Bila Semua Wanita Cantik, hal. 26]

"Nak, apakah ada yang pernah berpikir hidup ini bukan soal pilihan? Karena jika hidup hanya sebatas soal pilihan, bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu?"[Kotak-kotak Kehidupan Andrei, hal. 92]

"Kalian sama sekali tak memerlukan mata untuk memandang cinta sejati. Tidak memerlukan kelopak mata untuk mengenalinya. Ia selalu datang, tak pernah tersesat."[Pandangan Pertama Zalaiva-hal. 190]
Konon, kumcer ini merupakan remake dari buku Mimpi-mimpi Si Patah Hati. Beberapa cerita juga telah diposting di fanpage Sang Penulis. Nggak tahu juga sih yaa benar atau nggak. Tapi kalau melihat gaya menulis dan pemikirannya, sepertinya ini memang tulisan-tuisan lama yang ditulis ulang -seperti pesan penulis di halaman awal buku ini-.

Selain tema dan pesannya yang agak membosankan, buku ini bisa dibilang jauh dari kekurangan. Salut sekali lagi karena sepengamatan saya tak ditemukan typo dalam karya Tere Liye yang satu ini.

Yasudah. Begitu saja.:D

Judul | Berjuta Rasanya
Penulis | Tere Liye
Penerbit | Mahaka Publishing
Terbit | Juli 2012 (cetakan ke-III)
Tebal | 205 hlm.
ISBN | 978-602-9474-03-9

Antologi Cerpen Cinta dari Cikini

Atas nama cinta, Wasis, seorang pemuda kampung asal Bantul memutuskan untuk mengadu nasib di Jakarta. Cintanya kepada simbok-lah yang juga membuat Wasis ingin berubah menjadi lebih macho. Wasis tak mau melihat simboknya sedih lagi akibat tingkah anaknya yang kemayu. Berbulan-bulan Wasis meninggalkan kota kelahirannya, membuat ia rindu pada simbok di kampung. Dari Cikini, Wasis kemudian mencari cara untuk menyampaikan rasa cinta pada ibu yang telah melahirkannya tersebut.

Cinta Dari Cikini karya Nursalam AR ini menjadi pembuka antologi cerpen dengan judul yang sama. Terdapat 19 cerpen yang ditulis oleh 15 orang penulis dengan tema yang beragam. Ada cinta, kehidupan, orang-orang asing, dan persahabatan. Semua digoreskan dengan sederhana namun sarat akan hikmah kehidupan.
"Kadang kita menunggu untuk dipilih, tetapi juga memiliki kesempatan untuk memilih. Karena hidup terus meninggalkan kita yang hanya berjalan, namun takut untuk berlari mengejar mereka. Aku akan memilih, untuk kebaikan hidupku, tak peduli apa kata orang, yang lebih terpenting apa kata Allah--Tuhanku dan juga Tuhanmu."  -Memilih, Bukan Dipilih, hal. 37

Yang tak kalah menarik adalah sisipan puisi yang mengawali masing-masing tema tersebut. Berikut satu puisi karya Toffan Ariefialdi yang mengawali cerpen-cerpen dengan tema asing:

Di mata kamu yang taman bunga,
aku tumbuh jadi ilalang:
begitu asing dan terlarang

Meski diterbitkan secara indie, bukan berarti kumcer ini tidak digarap dengan baik. Kavernya menarik dan tata letaknyapun rapi. Mungkin akan ditemukan sedikit typo, tapi tak mengurangi keasyikan membaca buku ini. Sesekali pembaca akan dibuat haru, namun di lain cerpen akan dibuat tertawa.

Oya, sebagai tambahan, antologi cerpen Cinta dari Cikini ini merupakan sebuah proyek amal yang royaltinya akan diberikan kepada MP4Palestine, sebuah komunitas yang concern pada kemerdekaan Palestine dan humanity. Jadi, dengan membeli buku ini, kamu juga memiliki kesempatan untuk beramal.

Selamat membaca! 

Sumber foto: Khoiri, 2012

Judul | Cinta dari Cikini
Penulis | Nursalam AR, Azzura Dayana, Sungging Raga, dkk.
Penerbit | Indie Publishing
Terbit | Agustus 2012
Tebal | xii + 207 hlm
ISBN | 978-602-7770-05-8

Tuesday, October 16, 2012

Single Mother Double Fighter

Menghadapi rentetan pertanyaan serta celetukan yang dilontarkan Dinda saja sudah cukup membuat saya kelimpungan. Ada pertanyaan-pertanyaan yang polos namun sukses membuat tantenya ini terperangah. Kadang takjub sendiri dengan pemikiran bocah berusia 5 tahun itu. Dia belajar dari mana coba?
Bersama Dinda, keponakan saya
Lantas, bagaimana jika nanti saya memiliki anak se-cerewet Dinda? Membayangkan bundanya yang harus menghadapi si kecil setiap hari saja sudah membuat saya ber-WOW-ria. Ya, para ibu itu memang hebat! Lalu, bagaimana pula dengan para ibu yang harus mengurus anaknya sendirian tanpa peran serta ayah di sisi buah hati mereka? Pasti perjuangannya lebih berlipat-lipat.

Buku Single Mother Double Fighter (SMDF) inilah jawabannya.

Buku yang berisi kumpulan kisah nyata penulis bersama putrinya, Salwa, ini bercerita tentang hari-hari yang dijalani Skylashtar Maryam sebagai seorang Single Mother dalam menghadapi tingkah Salwa. Kisah-kisah setipe dikategorikan dalam satu bab hingga tercipta 15 bab seperti cerita-cerita sedih, putri malu, dan religious story. Pengkategorian ini membuat susunan isi bukunya jadi tampak rapi.

Pada halaman awal SMDF, pembaca akan disuguhkan biografi singkat penulis tentang kehidupan pernikahannya yang ternyata harus berujung pada perceraian serta keinginan penulis untuk berbagi cerita seputar apa saja yang terjadi selama ia menjadi single mom. Pembuka ini sangat baik sebagai pendekatan awal antara penulis dengan pembaca.

Eits, jangan terlalu serius ketika membaca SMDF. Setiap kisah yang disampaikan dalam buku ini menggunakan gaya bahasa santai bahkan penuh nuansa komedi. Bahasa Salwa yang santun, nyunda, dan kadang sok tua juga menambah bumbu gokil dalam buku ini (Hmm.. apakah genre buku ini kemudian menjadi gokil-parenting? heee...). Simak deh percakapan berikut:

Salwa: Malaikat itu bentuknya kayak gimana sih?
Gue: Enggak tahu. Enggak pernah lihat *emang bener kok. Gue nggak pernah lihat malaikat.
Salwa: Ada sayapnya, kan?
Gue: Setahu Bunda sih ada.
Salwa: Katanya, enggak pernah lihat, kok tahu?
Gue: .... *I don't know how to answer

Entah karena Salwa yang benar-benar polos dan menggemaskan atau bundanya yang pintar menangkap momen, yang pasti, setiap percakapan yang terjalin bukan hanya bikin senyum-senyum geje tapi melahirkna pemahaman baru bahwa para orangtua bukan hanya harus memenuhi kebutuhan hidup sang anak, tetapi juga memberikan pembelajaran yang berarti kepada buah hati mereka. Dan hal tersebut dapat terjalin dalam percakapan sehari-hari antara orangtua dan anak.

Buku ini memang bukan sebuah buku panduan parenting bagi para single parent, hanya berupa luapan perasaan seorang ibu dalam bentuk tulisan. Hanya, ada baiknya juga jika penulis menyertakan tips corner atau apalah namanya untuk merangkum hal-hal yang dibutuhkan seorang orangtua untuk menghadapi buah hatinya. Mengingat pesan-pesan yang disampaikan dalam buku ini hanya tertulis dalam narasi sang penulis. Misalnya seperti ini:

"Sebagai orangtua tunggal yang berperan sebagai ibu sekaligus bapak, gue harus bekerja lebih keras dari ibu manapun." -hal. 60

Oya, font di kaver depannya cukup sulit dibaca. Membuat saya kesulitan mencari SMDF di toko buku hingga harus mengerahkan dua orang karyawan toko untuk bantu mencarikannya ^^a

Terakhir, buku ini ditutup dengan sangat manis oleh puisi yang dibuat Sang Penulis untuk putri tercintanya.

dan jika suatu saat wajahku benar-benar
sebuah gambar buram dalam foto lama yang senantiasa kau simpan
di bawah bantal, lalu jemarimu mengusap
senyumku yang berjelujur,
barangkali kau akan ingat bahwa rahimku
telah menuntaskan tugasku atasmu.

[Skylashtar Maryam]


Judul | Single Mother Double Fighter
Penulis | Skylashtar Maryam
Penerbit | Gradien Mediatama
Terbit | Februari 2012
Tebal | 208 hlm.
ISBN | 978-602-208-048-0

“RESENSI INI DIIKUTSERTAKAN DALAM LOMBA RESENSI BUKU SMDF”
*tapi saya telat ngirim link-nya ke fanpage SMDF euy. 
keknya mah kena diskualifikasi ini yah ^^a 

Monday, October 15, 2012

The Lost Java: Ada Konspirasi dalam Isu Pemanasan Global


Resensi The Lost Java:
Ada Konspirasi dalam Isu Pemanasan Global


Berhubung tema novel The Lost Java ini bisa dibilang cukup berat -buat saya-, maka resensi kali ini boleh jadi akan keluar -sedikit- dari pakem yang ada. Mari kita perbincangkan buku ini dengan lebih santai.

(menyeruput kopi)


Seorang kawan mempromosikan The Lost Java (TLJ) di sebuah grup menulis yang saya ikuti. Sebuah novel sci-fiction. Sejujurnya, itu bukanlah tema yang menarik minat saya untuk membacanya. Maka, saat saya diseret masuk ke dalam grup pembaca TLJ dan buku sci-fiction lainnya, keinginan untuk membacanya belum juga memuncak.

Hingga kemudian, di sebuah toko buku, saya menemukan TLJ tertumpuk manis di antara buku-buku yang baru terbit. Great! Awalnya saya pikir buku ini akan sangat sulit ditemukan, mengingat penerbitnya, IG Press, cukup asing di telinga saya. Tapi ternyata mudah juga mendapatkan buku bersampul biru tersebut. Meski kavernya terlalu biasa, namun endorsement yang diberikan serta gaya bahasa yang digunakan sukses membuat saya memutuskan membawa TLJ hingga kasir. Sebagus apakah buku tersebut? Semua baru bisa disimpulkan setelah membacanya.

Sebagian orang mungkin akan menjauhi genre sci-fiction, apalagi yang berbau konspirasi, dalam daftar bacaannya. Saya sendiri termasuk dalam yang sebagian itu. Terbiasa dengan bacaan yang ringan seringkali membuat kening saya berkerut ketika membaca suatu buku yang memuat banyak data dan teori. Kabar baiknya, novel ini menggunakan bahasa yang mengalir hingga tak terasa halaman demi halaman bisa dibaca sampai tuntas.

“Kami adalah negara kepulauan. Sampai saat ini, kami telah kehilangan 52 pulau. Sebentar lagi, pulau tempat ibukota kamipun terancam tenggelam akibat banjir permanen dan terkikisnya pesisir pantai. Rakyat kami sedang diparut ketakutan. Demi Allah. Save the earth now or there will be no day after this year.

Oke, saya buka ulasan ini dengan pernyataan yang disampikan oleh Dr. Gia Ihza M. Sc di pertemuan antarpeneliti dalam acara IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Gia, peneliti asal Indonesia ini menjadi salah satu peserta symposium yang akan melaporkan data-data apa saja yang berkaitan dengan isu perubahan iklim akibat global warming yang mengancam dunia. Uhuy, keren, kan? Ada peneliti Indonesia yang bersuara di tingkat Internasional ^^b

Gia tergabung dalam Garuda Putih Labolatory (Garpu Lab), sebuah laboratorium penelitian yang fokus pada pembuatan formula untuk membuat hujan badai buatan di Antartika. Misi utamanya adalah mempertahankan methane hydrates yang menjadi faktor penting dalam efek rumah kaca tetap tertimbun di dalam es. Penelitian di Laboratorium tersebut dikembangkan sejak 35 tahun yang lalu oleh tiga sekawan: Prof. Deni, Prof. Riyadi, dan Prof. Wahyu.

Untuk menjaga kerahasiaan misi tersebut, pengembangan dilakukan di tiga titik yang berbeda. Prof. Riyadi di Colorado, Prof. Wahyu di Tel Aviv, sedangkan Prof Deni bertanggung jawab terhadap Garpu Lab yang terletak di suatu tempat yang amat tersembunyi di Bandung. Masing-masing peneliti senior tersebut memiliki asisten: para peneliti muda dari berbagai negara yang sudah meraih gelar doktor hingga professor.

Dari Swiss, ke Tel Aviv, lalu Colorado, Jakarta, hingga Bandung. Alur cerita bergulir dalam bentuk potongan-potongan cerita yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ketegangan yang tercipta sejak selesainya IPCC di Swiss berlanjut pada serangkaian serangan yang menewaskan Prof. Wahyu dan Prof. Riyadi. Sinyal merah yang sampai ke Garpu Lab menjadi pertanda bahwa misi mereka telah terendus dan siap untuk digagalkan.

Tak ada waktu lagi. Misi untuk menyelamatkan bumi itu harus dipercepat. Maka, dibentuklah tim WAR (Warriors of Antartic) yang akan menembakkan formula yang telah dibuat ke awan Cumulus di puncak Vinson Massif, Antartika. Misi ini pernah dilakukan sebelumnya, namun sayangnya gagal. Tim WAR sendiri terdiri dari Gia, Davis (murid Prof. Riyadi), Joda (murid Prof Wahyu), Sharma (adik Joda sekaligus kekasih Devis), Rio (anak dari Prof. Riyadi), dan Mahmoud (captain jet sekaligus mata bagi pendakian ke gunung es Vinson Massif).

Sesungguhnya, bukan hanya waktu yang mengancam misi mereka. Ada kekuatan besar di balik itu semua yang menghendaki kekuasaan mutlak di muka bumi ini. Adalah Dark Star Knight, sebuah organisasi Yahudi Internasonal yang menjadi otak dari serangkaian serangan yang terjadi sebelumnya. Tujuan mereka tak lain adalah merebut formula yang dibawa oleh Tim WAR dan menggagalkan misi tersebut.

Kawanz, pernahkah terpikir di benak kita bahwa isu global warming atau pemanasan global ternyata hanyalah sebuah konspirasi belaka?

Inilah tema besar yang dibawa Kun Geia dalam The Lost Java. Bahwa permasalahan bukan lagi pada seberapa besar akibat yang ditimbulkan oleh pemanasan global, namun tentang bagaimana fakta-fakta seputar pemanasan global yang digulirkan lewat media dapat menjadi amunisi yang baik untuk mewujudkan ketidakstabilan negara. Hingga akhirnya, mereka yang lemah akan mudah digerakkan layaknya boneka.

Tanpa diketahui rakyatnya, jika tidak ada masalah, maka ciptakanlah! Jika tidak punya musuh, maka carilah! Dengan begitu pemerintah akan terus dipercaya oleh rakyatnya untuk melindungi mereka. -hal. 139


The Lost Java memang sarat akan ilmu pengetahuan. Tidak tanggung-tanggung, data ilmiah serta informasi seputar bagaimana formula itu bekerja dan hal-hal yang berkaitan dengan pendakian gunung es dibahas dengan sangat detil. Bahkan, tak jarang istilah asing yang termuat disertai foot note untuk memperjelasnya. Salut atas kegigihan penulis dalam menyajikan data yang lengkap.

Satu hal yang tak terungkapkan adalah latar belakang para peneliti tersebut. Jika berkaca pada nasib para peneliti di Indonesia yang bisa dibilang kurang mendapat perhatian dari pemerintah, maka melihat sosok para peneliti di GarPu Lab tentu menimbulkan rasa takjub tersendiri. Darimana mereka memiliki dana yang amat besar untuk membiayai proyek penelitian tersebut? Seberapa tangguh mereka hingga bisa bersaing dengan kelompok Yahudi Internasional dalam hal konspirasi?

Yang cukup mengganggu adalah interaksi yang terjalin antara Gia dan Dr. Husna. Husna adalah putri dari Prof. Deni. Karena misi ke Vinson Massif yang dipercepat, pernikahan Gia dan Husna yang awalnya direncanakan berlangsung dua bulan setelah kepulangan Gia dari Swiss akhirnya dipercepat hingga sebelum tim WAR berangkat ke Antartika.

Entah karena tak ingin meninggalkan kesan berat dalam tema yang diusung, atau menyadari bahwa genre romance amat disukai oleh segala kalangan, penulis kemudian menyisipkan nuansa roman dalam novel karangannya. Yang sayangnya, hal ini terkesan dipaksakan dan membuat TLJ sedikit melenceng dari tema cerita yang sudah dibuat. Akhirnya, saya geli sendiri setiap kali romansa itu muncul sebagai selingan di tengah adrenalin yang memuncak saat mengikuti petualangan tim WAR.

Oh, bahkan prosesi pernikahan Gia dan Husna -lengkap dengan khutbah nikahnya- yang diulas dalam satu chapter tersendiri itu cenderung berlebihan. Meniadakan atau setidaknya mempersingkat bagian itu menurut saya tak membuat novel ini kehilangan gregetnya.

Terlepas dari nuansa roman yang -gagal- dibangun, TLJ sukses mengaduk emosi saya sebagai pembaca. Saya hanyut terbawa alur cerita yang membikin penasaran. Sekian menit adrenalin saya terpacu untuk turut merasakan rintangan yang menghadang para pendaki gunung es situ. Di lain waktu saya hampir dibuat menangis akibat kepergian beberapa orang dalam cerita tersebut. Hei, bahasanya sungguh menyentuh dan membuat haru. Aseli, deh!

Dan selalu, bagi saya yang paling menarik adalah mengetahui eksekusi akhir dari sebuah novel. Apakah ending-nya sejalan dengan alur yang digulirkan sejak awal. Lalu, adakah kaitannya dengan judul novel yang dibuat? The Lost Java ternyata mampu memberikan kelegaan di hati saya. Ending yang baik meski penyelesaian kasus seputar nasib ayah Gia belum jua tuntas.

Terakhir, novel ini boleh jadi bukan hanya merupakan sebuah peringatan agar kita selalu waspada terhadap konspirasi yang dilancarkan zionis tanpa kita sadari, atau bagaimana setiap kita mampu berperan serta menjaga bumi, terlepas dari benar atau tidaknya isu seputar global warming. Bagi saya, novel ini menjadi sebuah harapan bahwa Indonesia kelak akan melahirkan putra-putri bangsa yang memiliki sumbangsih besar dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tanpa melupakan jati dirinya sebagai seorang muslim.

Ke depan, semoga semakin banyak novel bertema sci-fiction di Indonesia yang mampu menambah khazanah ilmu bagi para pembacanya.


Judul | The Lost Java
Penulis | Kun Geia
Penerbit | IG Press
Terbit | Juni, 2012
Tebal | xvi + 363 hlm.
ISBN | 978-602-18409-0-0

Saturday, October 6, 2012

Ping!: Pesan Konservasi dalam Sebuah Novel

Ping!

Di zaman teknologi sekarang ini, ping boleh jadi diartikan sebagai sebuah alert bagi para pengguna smartphone Blackberry. Lantas, apakah novel dengan judul Ping! a Message From Borneo ini mengadaptasi bunyi ping pada Blackberry Messenger? Entah. Yang pasti, duo penulis peraih juara pertama lomba novel 30 Hari 30 Buku Bentang Belia ini memang berhasil memberikan peringatan tentang konservasi alam dan satwa langka melalui bacaan ringan khas remaja ini.

Berkisah tentang dua tokoh utama, Ping dan Molly, yang dipertemukan dalam sebuah kawasan konservasi orangutan di Samboja, Kalimantan Timur. Ping adalah orangutan yang harus berpisah dengan ibunya setelah tembakan pemburu liar bertubi-tubi mengenai tubuh sang bunda. Ping kemudian diselamatkan Jong dan memulai kehidupan baru bersama Jong dan ibunya. Ping memanggilnya Ibu.

Sayang, belum sempat ia bangkit dari kesedihan sepeninggal perpisahannya dengan sang bunda, Ping harus kembali mengukir luka setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Ibu, orangutan yang menyayanginya seperti anaknya sendiri, terkapar tak berdaya. Ping sendiri yang berusaha menolong Ibu justru ikut terkena perangkap para pemburu liar. Ping dimasukkan ke kardus dengan lubang udara yang sempit. Ia siap dijual.

Ping yang selamat dari upaya jual beli satwa langka kemudian dibawa ke Samboja. Di sanalah, untuk pertama kalinya, ia bertemu Molly, Si Mata Bening yang memiliki ketertarikan yang tinggi pada kegiatan konservasi alam dan tulis menulis. Bersama Nick dan Andy, dua bule yang memiliki minat yang sama dengan Molly, mereka belajar banyak hal tentang keberadaan orangutan yang kian terancam akibat semakin sempitnya hutan tempat orangutan tinggal. Dan menjadi kian rumit karena masyarakat lebih menyukai hutan tersebut diubah menjadi lahan kelapa sawit yang secara instan lebih memiliki nilai jual.

Apakah Ping mampu mengatasi depresinya yang berkepanjangan? Akankah Molly, dengan sumbangan tulisannya, juga mampu menggugah orang lain, termasuk Archie sahabatnya, untuk lebih aware terhadap nasib hutan dan orangutan di Kalimantan?

189 halaman novel ini memang terlalu sedikit untuk memperdalam konflik yang terjalin di dalamnya. Seberapa pentingnya melestarikan orangutan, undang-undang apa yang melindungi satwa langka tersebut, apa saja sangsi yang didapat para pemburu dan pembalak liar, serta bagaimana masyarakat bisa turut serta berperan dalam konservasi orangutan, mungkin hal tersebut dapat disertakan ke dalam konflik yang ada.

Namun, secara umum, pesan dalam novel ini tersampaikan dengan baik lewat penuturan yang seadanya dan apa adanya. Riawani Elyta mampu membuat alur cerita Molly yang sederhana menjadi penuh kesan. Ending-nya pun begitu manis. Shabrina WS sendiri yang dikenal piawai dalam menulis cerita fabel memberikan sentuhan lembut pada karakter Ping yang menyimpan segenggam luka.

Oh, saya menyukai bagian ketika Ping menggambarkan kondisinya serta lingkungan sekitarnya sesuai dengan nalar yang terasa dekat dengan kehidupan orangutan: rasa sepi yang digambarkan seperti tertusuk duri-duri salak hutan (hal. 71), atau rangkaian peristiwa yang dialaminya seperti sulur-sulur yang saling berkaitan (hal. 126). Manis sekali.

Satu hal yang bagi saya agak janggal -dan ini mungkin terlalu teknis- yaitu tentang Molly yang membawa travel bag ke Kalimantan (hal. 35). Aneh. Karena dalam novel ini, Molly digambarkan sebagai seseorang yang pernah aktif di LSM Gerakan Penyelamatan Satwa Langka (GSPL). Setidaknya, ia tahu bahwa ransel/backpack lebih cocok dibawa ke lapangan dibanding travel bag. Oya, satu lagi, baru kali ini saya menemukan seseorang yang memakai piyama sebagai pakaian tidurnya saat berada di basecamp (hal. 80). Rapi banget ^^v

Terakhir, salut untuk misi yang dibawa oleh dua penulis yang tak pernah bersitatap secara langsung ini. Sejujurnya, saya merinding sejak pertama kali membaca ucapak terima kasih di halaman pembuka novel tersebut. Betapa upaya konservasi alam dan satwa langka sesungguhnya dapat dilakukan oleh siapa saja dengan metode apapun. Meski mereka bukan lulusan Biologi, meski tak pernah sekalipun menjejak Kalimantan -ah, saya sungguh tertohok pada bagian ini-.

Seperti segmentasi yang memang diharapkan di awal, semoga buku ini memang menjadi bacaan yang mengesankan bagi remaja-remaja di penjuru Indonesia. Hingga membuka kembali ruang-ruang berpikir mereka, agar tak melulu membahas cinta, boyband, atau sekadar menari a la Gangnam Style. 

Novel Ping & Greeny ^^



***
Judul | Ping! a Message From Borneo
Penulis | Riawani Elyta & Shabrina WS
Penerbit | Bentan Belia
Tahun Terbit | 2012
Tebal | 142 hlm.
ISBN | 978-602-9397-17-8

Di Balik Testimoni Sang Pemetik Cahaya

Assalamu'alaikum. Hai Ai, gmn kabarnya? Aku sekarang lagi di Jakarta. Di kemayoran. #sekilas info# ;))
Ohya, Ai maukah engkau memberikan testimoni untuk bukuku yg mrp kumpulan tulisan2 di FB? Buku ini utk sovenir walimah :)

Itulah pesan pembuka tentang tawaran seorang kawan mayaku yang beberapa bulan lalu telah melangsungkan akad nikahnya. Testimoni? Oh, aku sangat menyukainya! ^^

Bukankah menjadi orang yang pertama kali membaca naskah seseorang sebelum bukunya diterbitkan itu menyenangkan? Okelah, tambahannya, nama kita nanti akan terpampang di kaver buku sang penulis. Kita juga bisa membubuhkan embel-embel di belakang nama kita sekehendak kita --dan aku selalu menyukai bagian ini, saat promosi terselubung bukuku dapat terlaksana, hahaha--

Sang Pemetik Cahaya hanya memberiku waktu kurang dari dua hari untuk membuat testimoni. Wews... Sejujurnya, itu terlalu cepat! Terlebih aku membutuhkan suasana yang nyaman, jauh dari keramaian lingkungan, juga kegalauan hati #eaaa. Dan akhirnya aku memang telat mengirimkan testimoniku, hiks.. Maaf MasChif -_-v

SPC dan kertas kado pembungkusnya yang unyu-unyu :D

Satu pekan setelah walimatul 'urs-nya dilangsungkan, kiriman paket itu datang. Sebuah buku dengan ucapan terima kasih dari kedua mempelai tertera di kaver depannya. Yang membuatku terharu, testimoniku ternyata diletakkan di kaver depan buku Sang Pemetik Cahaya --lengkap dengan embel-embelnya, haha--

Mau tau testimoni apa yang kuberikan untuk buku tersebut? Here it is:

"Benarlah bahwa selalu ada cahaya yang bisa dipetik dalam keseharian hidup kita. Setidaknya, itulah yang dilakukan sang penulis. Lewat untaian kata yang puitis, ia membagi cahaya itu pada siapa saja yang membaca buku ini."
Sari Yulianti, Penulis buku Surga di Telapak Kaki Ayah

Aseli, bahasa yang digunakan dalam tulisan Chifrul el Hamasah aka MasChif memang cenderung puitis. Padahal ini bukan puisi loh! Hanya kumpulan kisah-kisah inspiratif yang dialami penulis dalam kesehariannya. Tapi jadinya malah membawa nuansan melankoli, tapi tidak melemahkan. Nah, bingung, kan? Sama. #eh ^^a

Bukunya tipis saja. Hanya 95 halaman --tapi toh masih lebih tebal dibanding bukuku, wekeke-- Rsaanya bisa dibaca sekali duduk. Asyik juga dijadikan teman dalam penantian #apasih --yaa maksudnya kalo lagi nunggu enaknya kan emang baca buku ^o^

Oya, kritikan untuk buku ini --mungkin cenderung teknis, tapi agak nyebelin, hehe--
Ada banyak spasi yang kurang di awal kalimat (setelah tanda titik). Agak terganggu ngeliatnya. Bawaannya pengen tak edit aja. haha.. 

Baiklah, sekian.


di sisi awan, aku menunggui hujan.
sebab, di sinilah pelangi akan jatuh di sekujur badan
di sisi awan, aku-kamu menunggui hujan.
sebab, di sini dada akan menjadi lapang

Pun, seandainya duka mendera, maka tak akan ada yang tahu bahwa dalam gerimis,
ada airmata kita yang tertumpah.

(Sang Pemetik Cahaya, hal. 17)

Berpetualang Bersama Giganto

Hilangnya seorang bocah bernama Ruhai di Hutan Larangan menjadi alasan yang menguatkan Chaudry Teja untuk melibatkan Erwin Danu dalam ekspedisi bersama timnya. Tujuan utama Chaudry ke Hutan Larangan adalah untuk menemukan Dr. Yudha Komara yang hilang selama enam tahun terakhir di hutan tersebut. Namun di balik itu semua, ada sebuah ambisi untuk mencari jejak lain: seekor Gigantopithecus, primata purba setinggi 3 m yang konon sudah punah ratusan ribu tahun yang lalu tetapi masih lestari di pedalaman hutan Kalimantan.

Hutan Larangan adalah hutan keramat bagi warga Sekayan. Mereka tak peduli ada atau tidaknya Gganto di hutan tersebut. Yang mereka tahu, di dalam hutan yang tak terjamah itu terdapat batutut, mahkluk mengerikan yang telah menewaskan beberapa warga mereka dengan sangat mengenaskan. Kalaupun selamat, mereka akan mengalami gangguan kejiwaan akibat trauma terhadap batutut tersebut.

Erwin, seorang peneliti orang utan di Hutan Sekayan, yang awalnya enggan terlibat dalam urusan Chaudry, akhirnya pergi bersama ke Hutan Larangan. Ada dua tim besar: tim Erwin yang terdiri atas Erwin, Ruja (ayah Ruhai), Eram (warga Sekayan), dan beberapa warga Sekayan lainnya. Sedangkan tim Chaudry meliputi Chaudry, Martin, Tran, Ruth, dan beberapa "pembantu" lapangan dalam timnya.

Saat mereka menemukan kapal Ruhai yang koyak, Martin justru hilang dalam rimbanya hutan. Tim akhirnya terbagi dua, antara mencari Ruhai dan Martin. Dalam pencarian tersebut, muncul kejanggalan-kejanggalan serta penemuan tak terduga. Benarkah Dr. Komara masih hidup? Apakah di Hutan Terlarang benar-benar masih terdapat Giganto yang keberadaannya selalu diyakini Tran? Lalu, akankah Ruhai dan Martin dapat ditemukan Erwin dkk?

Rasanya sudah lama sekali saya tak menyentuh buku bergenre petualangan semacam ini. Temanya yang terasa begitu dekat dengan kehidupan saya saat di kampus dulu menjadi sisi menarik tersendiri. Rasanya diri ini ikut terlibat dalam ekspedisi ke Hutan Terlarang tersebut. Emosi erasa terpacu bersama kejutan yang setahap demi setahap dimunculkan dalam novel ini.

Salut dengan deskripsi sang penulis dalam menggambarkan setiap detil hutan, meliputi suasana, lansekap, hingga karakter hewan dan tetumbuhan di dalamnya. Lihatlah penggambaran penulis dalam satu paragraf berikut:
“Sekarang Julag menurunkan badannya, bertumpu pada keempat kakinya seperti yang dilakukan orangutan saat berjalan. Ruhai mendekatinya dengan perlahan. Belum pernah ia sedekat ini dengan binatang yang ditakutinya ini, kecuali saat tidur. Ia bahkan belum pernah menyaksikan wajah Julag sedekat ini. Kini ia bisa menyaksikan semuanya. Wajah kera itu kehitaman dengan dua gelambir di kedua pipinya. Moncongnya panjang dan besar dengan lubang hidung yang mirip celah yang panjang. Ia bisa menyaksikan mulut yang besar. Mulut itu bisa saja menelannya dengan mudah jika Julag mau. Tapi ia yakin Julag tak akan melakukannya. Dari balik bibirnya yang tipis, Ruhai bisa melihat lidah yang kemerahan dan gigi-giginya yang sangat besar. Wajah Julag dikelilingi rambut-rambut panjang mirip jenggot berwarna coklat tua kemerahan. Kepalanya dihiasi daging yang mirip gundukan kecil di atas kepalanya, membuat kepalanya nampak seperti kerucut.” -hal. 200-201

Buku ini bukan hanya membahas tentang ilmu sains: primatologi, paleontologi, dan evolusi. Tapi juga tentang pesan-pesan penting terkait kelestarian hutan dan makhluk-makhluk di dalamnya. Membaca buku ini juga membuat saya begitu penasaran dengan sosok penulis. Melihat kepiawaiannya dalam bercerita dengan tema khusus ini, membuat saya ingin tahu latar belakang sang penulis. Apakah background-nya berkaitan dengan biologi atau hanya mengandalkan studi literatur semata? Sayangnya, saya tak menemukan satu barispun biodata penulis di dalam buku ini.

Dari hasil googling, terjawab sudah: Dia seorang Biolog! Yeaaah..! ^^v
Blognya ternyata masih aktif. Silakan mampir ke sini


Judul | Giganto: Primata Purba Raksasa di Jantung Borneo
Penulis | Koen Setyawan
Penerbit | Edelweiss
Tahun Terbit | 2009
Tebal | 440 hlm.
ISBN | 978-979-19624-7-6

Menemukan Jalinan Cerita Dalam 9 Dari Nadira

9 Dari Nadira adalah sebuah kumpulan cerpen yang setiap ceritanya memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, tak jarang pula pembaca yang menganggap buku ini merupakan sebuah novel dengan rasa cerpen. Bagaimanapun, 9 Dari Nadira tetaplah kumpulan cerpen yang masing-masing memiliki tema tersendiri.

Ada sembilan cerita yang bisa dibilang semuanya berpusat pada satu tokoh bernama Nadira Suwandi. Tak melulu mengambil sudut pandang Nadira, beberapa cerpen memiliki sudut pandang yang berasal dari Yu' Nina (Kakak Nadira), atau Kris (teman kantor Nadira yang tak terlalu bersinggungan dengan kehidupan Nadira). Namun, semuanya merangkum karakter seorang Nadira: perempuan yang tampak luar terlihat tangguh, tapi memiliki hati serapuh kapur. Kematian ibunya karena bunuh diri tanpa alasan yang pasti telah membentuk Nadira menjadi sosok yang berbeda. Setelahnya, Nadira harus menjalani peran sebagai anak, adik, wartawan, istri, hingga seorang wanita biasa yang masih berada dalam pencarian jati diri dan cinta sejati.

Leila S. Chudori yang lama tak menelurkan sebuah buku tiba-tiba menggebrak dengan karyanya yang tak bisa dipandang sebelah mata. Kepiawaiannya dalam meramu cerita, mengaitkan setiap cerpen dengan pas, juga bagaimana ia menguatkan karakter masing-masing tokohnya menjadi nilai plus untuk kumcer ini. Bahasa yang digunakan berada di tengah-tengah: tidak terlalu nyastra, tetapi juga jauh dari kesan picisan.

Bagi pembaca yang tak menyukai ending yang menggantung, mungkin akan kecewa dengan setiap eksekusi akhir cerpen tersebut. Namun sesungguhnya, Sang Penulis telah mengakhiri cerpennya dengan sangat manis.

Oya, kertas yang digunakan juga ringan (apa yaa namanya? ^^a) hingga terasa nyaman dibaca dan dibawa ke mana saja.



Judul | 9 dari Nadira
Penulis | Leila S. Chudori
Penerbit | KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit | 2009
Jumlah Halaman | 270 hlm
ISBN | 9789799102096 
Harga | Rp 55.000

book-a-lova | 09

September telah berlalu dan lagi-lagi aku telat melaporkan buku apa aja yang dibaca selama bulan September. BTW, September selalu mengingatkanku akan perjalanan awal book-a-lova ini. Tak terasa sudah dua tahun aku mencatat buku apa saja yang telah kubaca. Bisa dibilang, perkembangan bacaku lumayan banyak kemajuannya, yah, meski akhir-akhir ini semangat membaca merosot lagi ^^a


Ada 3 buku yang kubaca di bulan September, antara lain:
  1. 9 Dari Nadira - Leila S. Chudori: Sudah lama kumcer ini direkomendasikan oleh seorang kawan. Sempat membaca satu cerpennya di toko buku, tapi kemudian ada jeda yang cukup lama hingga akhirnya buku ini selesai dibaca. Dan ternyata, buku ini memang recommended banget! Aku suka gaya bahasa penulis dan ending yang ia buat. Konsep cerpen berkait yang membuatnya jadi tampak seperti novel juga menarik. Ada keinginan untuk membuat kumcer dengan gaya seperti ini, sayangnya ide cerita yang kupunya sudah basi.
  2. Giganto - Koen Setyawan: Mendapatkan buku ini di tumpukan buku2 diskon Mizan saat IBF lalu. Rasanya sudah lama sekali tak menyentuh novel dengan genre petualangan. Sebagai seorang Biolog, aku sangat menikmati deskripsi sang penulis tentang latar tempat dan tokoh-tokohnya (termasuk Sang Giganto). Penasaran dengan sosok penulisnya.
  3. Sang Pemetik Cahaya - Chifrul el Hamasah: Berisi kisah-kisah inspiratif sang penulis yang disampaikan dengan puitis. Oh, saya sampai terbuai dengan kata-katanya (baca: nggak bisa kalau disuruh menulis dengan bahasa melangit seperti itu ^^v) Buku kumpulan kisah inspiratif ini adalah souvenir pernikahan Sang Penulis. Sebelumnya, Om Iqbal yang juga sahabatnya, juga membuat buku sebagai souvenir pernikahan. Apakah aku juga akan mengikuti jejak mereka? Hehe...
Baiklah, sekian book-a-lova bulan September. Bulan Oktober insyaAllah akan disemarakkan oleh buku-buku yang akan kuikutkan dalam lomba resensi. Tunggu laporannya bulan depan yaa ^o^

***
di balik 3 jendela,
6 Oktober 2012 pk. 09.45 wib
"jauhkan dompet dari toko buku" :D