"Sebagian besar perempuan terjebak pada perangkap psikologi bahwa mereka akan selamat dalam menjalani kehidupan ini jika memiliki pelindung sejati bernama: laki-laki."
Kutipan itu akan kau temukan di halaman awal setelah lembaran testimoni untuk novel ini. Sebuah kutipan pembuka yang akan menyertai kisah cinta tiga orang perempuan hingga ujung ceritanya.
Ceritanya mungkin terlalu klasik. Setting tempatnyapun terlalu biasa. Tapi empat bintang saya berikan untuk gaya bertutur sang penulis yang mengalir, potongan-potongan cerita yang pas di tiap babnya -dan tentu saja membuat penasaran-, serta yang utama, adalah kesan yang didapat ketika membaca novel ini: sejak membaca judulnya hingga tiba di akhir halaman novel Cinderella Syndrome. Terasa pas.
Tanpa disadari, kisah Cinderella yang sejak kecil menjadi dongeng pengantar tidur bagi para anak gadis telah membentuk suatu stigma bahwa pernikahan adalah sumber kebahagiaan seorang perempuan serta solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Lihat saja tokoh Cinderella yang selalu diperlakukan tak adil oleh ibu tirinya dapat hidup bahagia setelah seorang pangeran dari kerajaan datang untuk mempersuntingnya (baca: menyelamatkannya).
Kisah itu kemudian begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Atau jika membaca novel ini, maka kisah Cinderella akan ditemukan dalam kisah Erika, Violet, dan Annisa. Meski ketiganya memiliki latar belakang, karakter, serta ujian kehidupan yang berbeda, namun ada satu benang merah yang menghubungkannya: antara wanita dan pernikahan.
Yang berbeda dari novel ini adalah ketiga tokoh itu tak berikatan satu dengan yang lain. Erika, Violet, dan Annisa memiliki kehidupan masing-masing. Sejujurnya saya berharap ada sedikiiiit saja hal yang menghubungkan ketiganya (selain tema). Sayang, hal itu tak saya temukan hingga akhir. Namun, tetap salut pada sang penulis karena telah menciptakan karakter yang berbeda antara satu dengan lainnya. Karakter Erika, Violet, dan Annisa dengan jelas dapat dibedakan dan konsisten hingga akhir.
Font-nya yang cukup besar dan berjarak sangat nyaman dipandang. OH, saya juga suka tata letak dan desainnya. Oya, di antara ketiganya, saya paling suka kisah Erika. Setelah menyelesaikan beberapa bab pembuka, saya langsung menuntaskan kisah Erika secara tersendiri, baru kemudian dilanjutkan kisah Violet dan Annisa. Saya pikir, cara ini lebih efektif bagi pembaca yang tak bisa fokus dengan banyak tokoh dan cerita.
Buku ini sangat cocok dibaca oleh para perempuan yang ingin, belum ingin, serta yang ingin banget tapi belum juga dipertemukan dengan pangerannya. ^__^
kak! kak! ada namaku, kak! kak!
ReplyDelete*tunjuk-tunjuk*
XD
tapi kisah annisa di novel ini gak happy ending, An ^^ #spoiler
ReplyDelete