Sunday, December 30, 2012

Antara Perempuan, Pernikahan, dan Cinderella Syndrome

"Sebagian besar perempuan terjebak pada perangkap psikologi bahwa mereka akan selamat dalam menjalani kehidupan ini jika memiliki pelindung sejati bernama: laki-laki."


Kutipan itu akan kau temukan di halaman awal setelah lembaran testimoni untuk novel ini. Sebuah kutipan pembuka yang akan menyertai kisah cinta tiga orang perempuan hingga ujung ceritanya.

Ceritanya mungkin terlalu klasik. Setting tempatnyapun terlalu biasa. Tapi empat bintang saya berikan untuk gaya bertutur sang penulis yang mengalir, potongan-potongan cerita yang pas di tiap babnya -dan tentu saja membuat penasaran-, serta yang utama, adalah kesan yang didapat ketika membaca novel ini: sejak membaca judulnya hingga tiba di akhir halaman novel Cinderella Syndrome. Terasa pas.

Tanpa disadari, kisah Cinderella yang sejak kecil menjadi dongeng pengantar tidur bagi para anak gadis telah membentuk suatu stigma bahwa pernikahan adalah sumber kebahagiaan seorang perempuan serta solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Lihat saja tokoh Cinderella yang selalu diperlakukan tak adil oleh ibu tirinya dapat hidup bahagia setelah seorang pangeran dari kerajaan datang untuk mempersuntingnya (baca: menyelamatkannya).

Kisah itu kemudian begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Atau jika membaca novel ini, maka kisah Cinderella akan ditemukan dalam kisah Erika, Violet, dan Annisa. Meski ketiganya memiliki latar belakang, karakter, serta ujian kehidupan yang berbeda, namun ada satu benang merah yang menghubungkannya: antara wanita dan pernikahan.

Yang berbeda dari novel ini adalah ketiga tokoh itu tak berikatan satu dengan yang lain. Erika, Violet, dan Annisa memiliki kehidupan masing-masing. Sejujurnya saya berharap ada sedikiiiit saja hal yang menghubungkan ketiganya (selain tema). Sayang, hal itu tak saya temukan hingga akhir. Namun, tetap salut pada sang penulis karena telah menciptakan karakter yang berbeda antara satu dengan lainnya. Karakter Erika, Violet, dan Annisa dengan jelas dapat dibedakan dan konsisten hingga akhir.

Font-nya yang cukup besar dan berjarak sangat nyaman dipandang. OH, saya juga suka tata letak dan desainnya. Oya, di antara ketiganya, saya paling suka kisah Erika. Setelah menyelesaikan beberapa bab pembuka, saya langsung menuntaskan kisah Erika secara tersendiri, baru kemudian dilanjutkan kisah Violet dan Annisa. Saya pikir, cara ini lebih efektif bagi pembaca yang tak bisa fokus dengan banyak tokoh dan cerita.

Buku ini sangat cocok dibaca oleh para perempuan yang ingin, belum ingin, serta yang ingin banget tapi belum juga dipertemukan dengan pangerannya. ^__^

Saturday, December 8, 2012

[ReadingEverywhereProject] BW edition




black and white edition

sebenernya sih karena foto ini diambil di malam hari.
tapi karena agak gelap, jadilah aku bikin black n white mode di instagram.

tapi salutlah sama si bapak ini. malam-malam masiiih juga semangat baca! ^^b

Shopping is Boring

Shopping is Boring!




tapi demi anak istri, ia rela menemani :D

@alfamidi
4 nov 12 pk. 21.36 wib

Wednesday, November 28, 2012

Kejutan di Kamis Yang Manis

Siang tadi saya mendapat SMS dari nomor tak dikenal. Dari isi pesannya, si pengirim pesan ternyata adalah kurir Mizan yang kebingungan mencari gang rumah saya. Setelah membalas pesan tersebut, saya merenung sejenak #halah. Mizan mau kirimin saya buku? Hmm, ya, kayaknya sih gitu. Gak mungkin kan surat kontrak penerbitan buku saya? Lah, kirim naskah aja belum. Xixi..

Saya kemudian menduga-duga -baiklah, bahasanya mulai lebay-. Jangan-jangan ada teman saya di luar pulau yang belanja via mizandotcom tapi mencantumkan alamat pengirimannya ke rumah saya. Beberapa teman yang mengharap ongkir murah memang biasa menggunakan strategi ini. Tapi dugaan itu langsung patah karena nggak ada satupun teman saya yang konfirmasi kalo belanja di sana.

Lalu karena apa? Menang lomba? Aih, kayaknya saya gak menang kuis aku dan mizan ataupun buser. Jangan-jangan karena saya ngebelain Mizan waktu beberapa orang di Grup Sahabat Qanita komplain karena paketnya gak sampe-sampe. Haha.. ini lebih ngaco! Etapi saya memang hampir gak pernah bermasalah dengan pengiriman buku sih. Biasanya gak sampe seminggu, buku udah tiba di rumah. Pernah sih telat sekali, tapi karena sempat ada miskom di bagian apanya-entahlah-lupa.^^v

Dan sebelum saya sempat berpikir tentang kemungkinan lainnya, Sang Kurir udah tiba di depan rumah. Haha..

"Ini paketnya dari Bandung, Mba," kata Mas Kurir.
"Apa yaa isinya? Kayaknya saya nggak mesan buku apa-apa," ceracau saya. Entah Si Mas Kurir ngedengerin atau nggak. Kayaknya masih asyik dengan catatan laporan pengirimannya.

Dan akhirnya paket buku bersampul putih itupun pindah ke tangan saya. Langsung aja deh intip isinya. Saya pikir awalnya ada beberapa buku, mengingat tebal paketnya sekitar 3 cm. Tapi ternyata hanya ada satu buku. Dan itu adalah buku The Casual Vacancy-nya Tante JK Rowling. Wuiiiiih... Alhamdulillah yah ^^


Sebelumnya udah pernah nyimak woro-woro Mizan tentang buku ini. Di beberapa toko buku juga saya lihat banyak yang pajang buku ini di dekat kasir atau di banner depan tobuknya. Tapi kalo ngeliat harganya, ehm,, jujur saja, buat saya sih kemahalan ^^a. Tapi mungkin sepadan kali yah, soalnya buku ini dikemas dengan sangat eksklusif: hard cover dengan kertas yang ringaaaan banget. Jadi pasti gak ngeberatin deh kalo mau dibawa kemana2.

Oya, melalui surat pengantar dari Penerbit Mizan, akhirnya terungkap bahwa buku ini merupakan hadiah untuk peresensi buku Mizan. Hmm, buku yang mana yaa? #pikun lagi ^^a. Saya emang sempat meresensi buku Mizan dan emang belum dapet buku seperti biasanya sih #eh. Tapi memang gak terpikir untuk dapet hadiah saat itu. Jadi kalo sekarangtiba-tiba dikejutkan oleh dikirimkannya buku sebagai hadiah karena saya pernah ngeresennsi buku Mizan, wah, rasanya jelas seneng banget!

Terima kasih, Mizan.

***
kamar imaji,
29 November 2012 pk. 14.44 wib

NB:
Di grup nulis saya, lagi ada lelang barang bekas berkualitas maupun baru, yang dananya buat sodara2 kita di Palestina. Ini menarik. Teman-teman yang belum menyisihkan uangnya bisa juga loh melakukan kegiatan semacam ini. Pasti di rumah ada barang2 bagus yang gak terpakai atau ingin disumbangkan kan? Entah itu buku, pakaian, peralatan rumah tangga, apapun.

Caranya gampang. Upload barang yang ingin dilelang, tuliskan spesifikasi barang dan kondisinya, buat aturan lelang (start bid dan kelipatannya), dan setelah deal, uang yang terkumpul bisa disumbangkan melalui KNRP, ACT, atau rekening amal lainnya.

Selamat beramal kebaikan! ^^b

Sunday, November 25, 2012

Merangkai Puzzle Persona Non Grata

on page 25
"Deskripsinya bagus.. cerita pembukanya juga bikin penasaran ^^b"

on page 51
"Gak bisa skimming..
rasanya sulit melewatkan satu kalimat di novel ini. paragrafnya padat berisi euy!"

***

Buku ini sudah ada dalam genggaman saya sejak bulan Februari lalu. Baca beberapa halamannya di bulan Mei dan... suka. Kesan pertamanya seperti yang saya kutip di atas. Tapi pada akhirnya berhenti membaca di halaman 51 itu juga. Bukan karena saya kehilangan ketertarikan untuk membacanya, hanya magnet dari buku ini saja yang kurang kuat. *eh, sama saja yaa? ^^v

Tapi sejujurnya, membaca buku ini memang membutuhkan waktu tersendiri buat saya. Temanya yang tak biasa, isinya yang padat, membuat saya tak rela membacanya di dalam angkot atau di sela-sela waktu yang ada. Buku ini harus dinikmati dengan situasi dan kondisi terbaik, pikir saya.

Novel dibuka dengan sebuah insiden di sebuah mall yang memberikan pembaca kesempatan untuk berkenalan dengan tokoh utama dalam Persona Non Grata. Dialah Dean Pramudya. Prince of cracker yang tampan, cerdas, bergelimang harta, namun miskin kasih sayang keluarga.

Bersama teman-temannya, Sang Prince membentuk Cream Crackers, sebuah sindikat yang siap membobol rekening milik orang lain hingga pembuatan kartu kredit palsu. Kepiawaian Dean dalam mengaburkan jejak pencarian polisi menimbulkan keresahan tersendiri di masyarakat maupun pihak aparat keamanan.

Membaca bab demi bab pembuka layaknya keping-keping puzzle yang harus dikumpulkan pembaca demi mencapai ending yang tak mudah ditebak. Selain menyuguhkan aksi yang dilakukan para cracker lengkap dengan istilah yang berkaitan dengannya, pembaca juga diajak ke dalam kisah pelarian Sarah, seorang tunasusila di sebuah lokalisasi di Batam, yang ternyata memiliki keterikatan hati dengan Dean. Hadirnya sosok Sarah membawa pembaca ke dalam kasus lain: tentang human trafficking dan lika-liku kehidupan para ODHA.

Setengah halaman novel ini sukses membuat pembaca penasaran dengan alur yang disajikan. Konflik demi konflik yang setahap demi setahap digulirkan seolah menuntun pembaca untuk menyelesaikan puzzle yang sempurna. Maka, yang muncul kemudian adalah ketegangan manakala mengikuti kisah Dean maupun Sarah.

Selain temanya yang jarang diangkat ke dalam novel, Persona Non Grata memberikan pesan spiritual tersendiri, bahwa di titik terlemah seorang manusia, kembali pada Tuhan Yang Maha Esa merupakan sebuah harapan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Hingga seseorang tak perlu merasa menjadi sosok persona non grata (yang terbuang).

Kekurangan novel ini? Entahlah. Paduan kaver buku, judul, isi, hingga endingnya sudah sedemikian klop. Oh, oh, bahkan saya berharap novel ini difilmkan -dengan menjadikan Reza Rahardian sebagai Sang Prince, misalnya? Uhuk!-

Happy reading, fren! ^^

***

 
Judul | Persona Non Grata
Penulis | Riawani Elyta
Penerbit | Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit | 2011
Tebal | 256 hlm
ISBN | 602-8277-50-9
 
***
kamar imaji,
26 November 2012 pk. 00.42 wib
"Persona non grata. Pernah dengar istilah ini, Sayang? Mereka yang terbuang. Yang tak diinginkan saat jati diri mereka yang sesungguhnya justru mulai terkuak ke permukaan."
-Dean, hal. 162

Friday, October 19, 2012

Episode Menyampul Buku

Dulu, bisa dibilang saya paling cuek terhadap buku. Mau kavernya lecek, ketumpahan makanan, ujung kertasnya menggulung, no problemo. Eits, tapi ini berlaku buat buku sendiri yah. Kalo buku orang lain, dijamin saya bakal memeliharanya dengan baik. #cumisejati B-)

Tapi seiring rasa cinta saya yang mulai bersemi terhadap buku dan kegiatan membaca, saya mulai merasakan keasyikan sendiri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan buku, salah satunya kegiatan menyampul buku dengan plastik mika. Entah setiap berapa bulan sekali saya membeli segulung plastik mika, tapi rasanya tak tentu, tergantung pemakaian -terutama ktersediaan buku baru yang akan disampul XD.

17 buku dan sisa plastik mika

Pekan lalu, saya membeli segulung plastik mika. Setelah diperiksa, ternyata banyak buku yang belum disampul. Dan segulung plastik mika seharga Rp 6.500 itupun akhirnya hanya dapat digunakan untuk menyampul 17 buku dengan ukuran dan ketebalan yang beraneka. Dan sepertinya saya harus membeli beberapa gulung lagi mengingat masih ada buku yang belum disampul. Apalagi bulan ini saya lumayan kebanjiran buku dari hasil giveaways dan lomba resensi. Alhamdulillah yah :D

hadiah lomba resensi ping ^^

Kekhawatiran Ayah

Kadang, aku seolah menangkap kekhawatiran ayah ketika melihat anaknya tumbuh menjadi seseorang yang tak seperti perempuan pada umumnya. Mungkin ada benarnya pernyataan yang kutemukan dalam novel Rose karya Sinta Yudisia:
"Sebetulnya, ditinggal ayah atau ibu selamanya, sama saja buruknya. Ditinggal ayah kehilangan pegangan, ditinggal ibu kehilangan teladan. Beberapa teman perempuanku yang tak memiliki ibu, tak punya sense perempuan. Tidak sensitif, tidak peka. Penampilannya masih feminim, tapi sifat keperempuanan mereka nyaris hilang." -hal. 32

***
Ruang Tengah,
30 Maret 2012 pk. 18.43 wib
Lalu menatap wajah ayah yang mulai layu. Ah, kau sudah tua, Yah!

Thursday, October 18, 2012

Berjuta Rasanya

Biasa saja.

Itulah komentar yang saya lontarkan saat seorang teman meminta pendapat saya mengenai buku Berjuta Rasanya ini. Entah. Mungkin karena sudah terlalu sering membaca karya Tere Liye hingga saya tak menemukan sesuatu yang spesial dari kumpulan kisah bertemakan cinta ini. Tapi bukan berarti buku ini nggak bagus loh yaa. Mungkin saya hanya bosan saja.

Seperti biasa, Tere Liye pandai merangkai kisah sederhana namun memberikan sebuah kesan di akhir ceritanya. Dengan gaya bertuturnya yang khas, penulis mengajak pembaca untuk memahami cinta sejati lewat kelima belas cerita yang disajikan.

Simaklah pesan-pesan penulis yang terselip di antara narasi maupun percakapan antartokoh berikut:
“Seseorang yang mencintaimu karena fisik, maka suatu hari ia juga akan pergi karena alasan fisik tersebut. Seseorang yang menyukaimu karena materi, maka suatu hari ia juga akan pergi karena materi. Tetapi seseorang yang mencintaimu karena hati, maka ia tidak akan pernah pergi! Karena hati tidak pernah mengajarkan tentang ukuran relatif lebih baik atau lebih buruk.”[Bila Semua Wanita Cantik, hal. 26]

"Nak, apakah ada yang pernah berpikir hidup ini bukan soal pilihan? Karena jika hidup hanya sebatas soal pilihan, bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu?"[Kotak-kotak Kehidupan Andrei, hal. 92]

"Kalian sama sekali tak memerlukan mata untuk memandang cinta sejati. Tidak memerlukan kelopak mata untuk mengenalinya. Ia selalu datang, tak pernah tersesat."[Pandangan Pertama Zalaiva-hal. 190]
Konon, kumcer ini merupakan remake dari buku Mimpi-mimpi Si Patah Hati. Beberapa cerita juga telah diposting di fanpage Sang Penulis. Nggak tahu juga sih yaa benar atau nggak. Tapi kalau melihat gaya menulis dan pemikirannya, sepertinya ini memang tulisan-tuisan lama yang ditulis ulang -seperti pesan penulis di halaman awal buku ini-.

Selain tema dan pesannya yang agak membosankan, buku ini bisa dibilang jauh dari kekurangan. Salut sekali lagi karena sepengamatan saya tak ditemukan typo dalam karya Tere Liye yang satu ini.

Yasudah. Begitu saja.:D

Judul | Berjuta Rasanya
Penulis | Tere Liye
Penerbit | Mahaka Publishing
Terbit | Juli 2012 (cetakan ke-III)
Tebal | 205 hlm.
ISBN | 978-602-9474-03-9

Antologi Cerpen Cinta dari Cikini

Atas nama cinta, Wasis, seorang pemuda kampung asal Bantul memutuskan untuk mengadu nasib di Jakarta. Cintanya kepada simbok-lah yang juga membuat Wasis ingin berubah menjadi lebih macho. Wasis tak mau melihat simboknya sedih lagi akibat tingkah anaknya yang kemayu. Berbulan-bulan Wasis meninggalkan kota kelahirannya, membuat ia rindu pada simbok di kampung. Dari Cikini, Wasis kemudian mencari cara untuk menyampaikan rasa cinta pada ibu yang telah melahirkannya tersebut.

Cinta Dari Cikini karya Nursalam AR ini menjadi pembuka antologi cerpen dengan judul yang sama. Terdapat 19 cerpen yang ditulis oleh 15 orang penulis dengan tema yang beragam. Ada cinta, kehidupan, orang-orang asing, dan persahabatan. Semua digoreskan dengan sederhana namun sarat akan hikmah kehidupan.
"Kadang kita menunggu untuk dipilih, tetapi juga memiliki kesempatan untuk memilih. Karena hidup terus meninggalkan kita yang hanya berjalan, namun takut untuk berlari mengejar mereka. Aku akan memilih, untuk kebaikan hidupku, tak peduli apa kata orang, yang lebih terpenting apa kata Allah--Tuhanku dan juga Tuhanmu."  -Memilih, Bukan Dipilih, hal. 37

Yang tak kalah menarik adalah sisipan puisi yang mengawali masing-masing tema tersebut. Berikut satu puisi karya Toffan Ariefialdi yang mengawali cerpen-cerpen dengan tema asing:

Di mata kamu yang taman bunga,
aku tumbuh jadi ilalang:
begitu asing dan terlarang

Meski diterbitkan secara indie, bukan berarti kumcer ini tidak digarap dengan baik. Kavernya menarik dan tata letaknyapun rapi. Mungkin akan ditemukan sedikit typo, tapi tak mengurangi keasyikan membaca buku ini. Sesekali pembaca akan dibuat haru, namun di lain cerpen akan dibuat tertawa.

Oya, sebagai tambahan, antologi cerpen Cinta dari Cikini ini merupakan sebuah proyek amal yang royaltinya akan diberikan kepada MP4Palestine, sebuah komunitas yang concern pada kemerdekaan Palestine dan humanity. Jadi, dengan membeli buku ini, kamu juga memiliki kesempatan untuk beramal.

Selamat membaca! 

Sumber foto: Khoiri, 2012

Judul | Cinta dari Cikini
Penulis | Nursalam AR, Azzura Dayana, Sungging Raga, dkk.
Penerbit | Indie Publishing
Terbit | Agustus 2012
Tebal | xii + 207 hlm
ISBN | 978-602-7770-05-8

Tuesday, October 16, 2012

Single Mother Double Fighter

Menghadapi rentetan pertanyaan serta celetukan yang dilontarkan Dinda saja sudah cukup membuat saya kelimpungan. Ada pertanyaan-pertanyaan yang polos namun sukses membuat tantenya ini terperangah. Kadang takjub sendiri dengan pemikiran bocah berusia 5 tahun itu. Dia belajar dari mana coba?
Bersama Dinda, keponakan saya
Lantas, bagaimana jika nanti saya memiliki anak se-cerewet Dinda? Membayangkan bundanya yang harus menghadapi si kecil setiap hari saja sudah membuat saya ber-WOW-ria. Ya, para ibu itu memang hebat! Lalu, bagaimana pula dengan para ibu yang harus mengurus anaknya sendirian tanpa peran serta ayah di sisi buah hati mereka? Pasti perjuangannya lebih berlipat-lipat.

Buku Single Mother Double Fighter (SMDF) inilah jawabannya.

Buku yang berisi kumpulan kisah nyata penulis bersama putrinya, Salwa, ini bercerita tentang hari-hari yang dijalani Skylashtar Maryam sebagai seorang Single Mother dalam menghadapi tingkah Salwa. Kisah-kisah setipe dikategorikan dalam satu bab hingga tercipta 15 bab seperti cerita-cerita sedih, putri malu, dan religious story. Pengkategorian ini membuat susunan isi bukunya jadi tampak rapi.

Pada halaman awal SMDF, pembaca akan disuguhkan biografi singkat penulis tentang kehidupan pernikahannya yang ternyata harus berujung pada perceraian serta keinginan penulis untuk berbagi cerita seputar apa saja yang terjadi selama ia menjadi single mom. Pembuka ini sangat baik sebagai pendekatan awal antara penulis dengan pembaca.

Eits, jangan terlalu serius ketika membaca SMDF. Setiap kisah yang disampaikan dalam buku ini menggunakan gaya bahasa santai bahkan penuh nuansa komedi. Bahasa Salwa yang santun, nyunda, dan kadang sok tua juga menambah bumbu gokil dalam buku ini (Hmm.. apakah genre buku ini kemudian menjadi gokil-parenting? heee...). Simak deh percakapan berikut:

Salwa: Malaikat itu bentuknya kayak gimana sih?
Gue: Enggak tahu. Enggak pernah lihat *emang bener kok. Gue nggak pernah lihat malaikat.
Salwa: Ada sayapnya, kan?
Gue: Setahu Bunda sih ada.
Salwa: Katanya, enggak pernah lihat, kok tahu?
Gue: .... *I don't know how to answer

Entah karena Salwa yang benar-benar polos dan menggemaskan atau bundanya yang pintar menangkap momen, yang pasti, setiap percakapan yang terjalin bukan hanya bikin senyum-senyum geje tapi melahirkna pemahaman baru bahwa para orangtua bukan hanya harus memenuhi kebutuhan hidup sang anak, tetapi juga memberikan pembelajaran yang berarti kepada buah hati mereka. Dan hal tersebut dapat terjalin dalam percakapan sehari-hari antara orangtua dan anak.

Buku ini memang bukan sebuah buku panduan parenting bagi para single parent, hanya berupa luapan perasaan seorang ibu dalam bentuk tulisan. Hanya, ada baiknya juga jika penulis menyertakan tips corner atau apalah namanya untuk merangkum hal-hal yang dibutuhkan seorang orangtua untuk menghadapi buah hatinya. Mengingat pesan-pesan yang disampaikan dalam buku ini hanya tertulis dalam narasi sang penulis. Misalnya seperti ini:

"Sebagai orangtua tunggal yang berperan sebagai ibu sekaligus bapak, gue harus bekerja lebih keras dari ibu manapun." -hal. 60

Oya, font di kaver depannya cukup sulit dibaca. Membuat saya kesulitan mencari SMDF di toko buku hingga harus mengerahkan dua orang karyawan toko untuk bantu mencarikannya ^^a

Terakhir, buku ini ditutup dengan sangat manis oleh puisi yang dibuat Sang Penulis untuk putri tercintanya.

dan jika suatu saat wajahku benar-benar
sebuah gambar buram dalam foto lama yang senantiasa kau simpan
di bawah bantal, lalu jemarimu mengusap
senyumku yang berjelujur,
barangkali kau akan ingat bahwa rahimku
telah menuntaskan tugasku atasmu.

[Skylashtar Maryam]


Judul | Single Mother Double Fighter
Penulis | Skylashtar Maryam
Penerbit | Gradien Mediatama
Terbit | Februari 2012
Tebal | 208 hlm.
ISBN | 978-602-208-048-0

“RESENSI INI DIIKUTSERTAKAN DALAM LOMBA RESENSI BUKU SMDF”
*tapi saya telat ngirim link-nya ke fanpage SMDF euy. 
keknya mah kena diskualifikasi ini yah ^^a 

Monday, October 15, 2012

The Lost Java: Ada Konspirasi dalam Isu Pemanasan Global


Resensi The Lost Java:
Ada Konspirasi dalam Isu Pemanasan Global


Berhubung tema novel The Lost Java ini bisa dibilang cukup berat -buat saya-, maka resensi kali ini boleh jadi akan keluar -sedikit- dari pakem yang ada. Mari kita perbincangkan buku ini dengan lebih santai.

(menyeruput kopi)


Seorang kawan mempromosikan The Lost Java (TLJ) di sebuah grup menulis yang saya ikuti. Sebuah novel sci-fiction. Sejujurnya, itu bukanlah tema yang menarik minat saya untuk membacanya. Maka, saat saya diseret masuk ke dalam grup pembaca TLJ dan buku sci-fiction lainnya, keinginan untuk membacanya belum juga memuncak.

Hingga kemudian, di sebuah toko buku, saya menemukan TLJ tertumpuk manis di antara buku-buku yang baru terbit. Great! Awalnya saya pikir buku ini akan sangat sulit ditemukan, mengingat penerbitnya, IG Press, cukup asing di telinga saya. Tapi ternyata mudah juga mendapatkan buku bersampul biru tersebut. Meski kavernya terlalu biasa, namun endorsement yang diberikan serta gaya bahasa yang digunakan sukses membuat saya memutuskan membawa TLJ hingga kasir. Sebagus apakah buku tersebut? Semua baru bisa disimpulkan setelah membacanya.

Sebagian orang mungkin akan menjauhi genre sci-fiction, apalagi yang berbau konspirasi, dalam daftar bacaannya. Saya sendiri termasuk dalam yang sebagian itu. Terbiasa dengan bacaan yang ringan seringkali membuat kening saya berkerut ketika membaca suatu buku yang memuat banyak data dan teori. Kabar baiknya, novel ini menggunakan bahasa yang mengalir hingga tak terasa halaman demi halaman bisa dibaca sampai tuntas.

“Kami adalah negara kepulauan. Sampai saat ini, kami telah kehilangan 52 pulau. Sebentar lagi, pulau tempat ibukota kamipun terancam tenggelam akibat banjir permanen dan terkikisnya pesisir pantai. Rakyat kami sedang diparut ketakutan. Demi Allah. Save the earth now or there will be no day after this year.

Oke, saya buka ulasan ini dengan pernyataan yang disampikan oleh Dr. Gia Ihza M. Sc di pertemuan antarpeneliti dalam acara IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Gia, peneliti asal Indonesia ini menjadi salah satu peserta symposium yang akan melaporkan data-data apa saja yang berkaitan dengan isu perubahan iklim akibat global warming yang mengancam dunia. Uhuy, keren, kan? Ada peneliti Indonesia yang bersuara di tingkat Internasional ^^b

Gia tergabung dalam Garuda Putih Labolatory (Garpu Lab), sebuah laboratorium penelitian yang fokus pada pembuatan formula untuk membuat hujan badai buatan di Antartika. Misi utamanya adalah mempertahankan methane hydrates yang menjadi faktor penting dalam efek rumah kaca tetap tertimbun di dalam es. Penelitian di Laboratorium tersebut dikembangkan sejak 35 tahun yang lalu oleh tiga sekawan: Prof. Deni, Prof. Riyadi, dan Prof. Wahyu.

Untuk menjaga kerahasiaan misi tersebut, pengembangan dilakukan di tiga titik yang berbeda. Prof. Riyadi di Colorado, Prof. Wahyu di Tel Aviv, sedangkan Prof Deni bertanggung jawab terhadap Garpu Lab yang terletak di suatu tempat yang amat tersembunyi di Bandung. Masing-masing peneliti senior tersebut memiliki asisten: para peneliti muda dari berbagai negara yang sudah meraih gelar doktor hingga professor.

Dari Swiss, ke Tel Aviv, lalu Colorado, Jakarta, hingga Bandung. Alur cerita bergulir dalam bentuk potongan-potongan cerita yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ketegangan yang tercipta sejak selesainya IPCC di Swiss berlanjut pada serangkaian serangan yang menewaskan Prof. Wahyu dan Prof. Riyadi. Sinyal merah yang sampai ke Garpu Lab menjadi pertanda bahwa misi mereka telah terendus dan siap untuk digagalkan.

Tak ada waktu lagi. Misi untuk menyelamatkan bumi itu harus dipercepat. Maka, dibentuklah tim WAR (Warriors of Antartic) yang akan menembakkan formula yang telah dibuat ke awan Cumulus di puncak Vinson Massif, Antartika. Misi ini pernah dilakukan sebelumnya, namun sayangnya gagal. Tim WAR sendiri terdiri dari Gia, Davis (murid Prof. Riyadi), Joda (murid Prof Wahyu), Sharma (adik Joda sekaligus kekasih Devis), Rio (anak dari Prof. Riyadi), dan Mahmoud (captain jet sekaligus mata bagi pendakian ke gunung es Vinson Massif).

Sesungguhnya, bukan hanya waktu yang mengancam misi mereka. Ada kekuatan besar di balik itu semua yang menghendaki kekuasaan mutlak di muka bumi ini. Adalah Dark Star Knight, sebuah organisasi Yahudi Internasonal yang menjadi otak dari serangkaian serangan yang terjadi sebelumnya. Tujuan mereka tak lain adalah merebut formula yang dibawa oleh Tim WAR dan menggagalkan misi tersebut.

Kawanz, pernahkah terpikir di benak kita bahwa isu global warming atau pemanasan global ternyata hanyalah sebuah konspirasi belaka?

Inilah tema besar yang dibawa Kun Geia dalam The Lost Java. Bahwa permasalahan bukan lagi pada seberapa besar akibat yang ditimbulkan oleh pemanasan global, namun tentang bagaimana fakta-fakta seputar pemanasan global yang digulirkan lewat media dapat menjadi amunisi yang baik untuk mewujudkan ketidakstabilan negara. Hingga akhirnya, mereka yang lemah akan mudah digerakkan layaknya boneka.

Tanpa diketahui rakyatnya, jika tidak ada masalah, maka ciptakanlah! Jika tidak punya musuh, maka carilah! Dengan begitu pemerintah akan terus dipercaya oleh rakyatnya untuk melindungi mereka. -hal. 139


The Lost Java memang sarat akan ilmu pengetahuan. Tidak tanggung-tanggung, data ilmiah serta informasi seputar bagaimana formula itu bekerja dan hal-hal yang berkaitan dengan pendakian gunung es dibahas dengan sangat detil. Bahkan, tak jarang istilah asing yang termuat disertai foot note untuk memperjelasnya. Salut atas kegigihan penulis dalam menyajikan data yang lengkap.

Satu hal yang tak terungkapkan adalah latar belakang para peneliti tersebut. Jika berkaca pada nasib para peneliti di Indonesia yang bisa dibilang kurang mendapat perhatian dari pemerintah, maka melihat sosok para peneliti di GarPu Lab tentu menimbulkan rasa takjub tersendiri. Darimana mereka memiliki dana yang amat besar untuk membiayai proyek penelitian tersebut? Seberapa tangguh mereka hingga bisa bersaing dengan kelompok Yahudi Internasional dalam hal konspirasi?

Yang cukup mengganggu adalah interaksi yang terjalin antara Gia dan Dr. Husna. Husna adalah putri dari Prof. Deni. Karena misi ke Vinson Massif yang dipercepat, pernikahan Gia dan Husna yang awalnya direncanakan berlangsung dua bulan setelah kepulangan Gia dari Swiss akhirnya dipercepat hingga sebelum tim WAR berangkat ke Antartika.

Entah karena tak ingin meninggalkan kesan berat dalam tema yang diusung, atau menyadari bahwa genre romance amat disukai oleh segala kalangan, penulis kemudian menyisipkan nuansa roman dalam novel karangannya. Yang sayangnya, hal ini terkesan dipaksakan dan membuat TLJ sedikit melenceng dari tema cerita yang sudah dibuat. Akhirnya, saya geli sendiri setiap kali romansa itu muncul sebagai selingan di tengah adrenalin yang memuncak saat mengikuti petualangan tim WAR.

Oh, bahkan prosesi pernikahan Gia dan Husna -lengkap dengan khutbah nikahnya- yang diulas dalam satu chapter tersendiri itu cenderung berlebihan. Meniadakan atau setidaknya mempersingkat bagian itu menurut saya tak membuat novel ini kehilangan gregetnya.

Terlepas dari nuansa roman yang -gagal- dibangun, TLJ sukses mengaduk emosi saya sebagai pembaca. Saya hanyut terbawa alur cerita yang membikin penasaran. Sekian menit adrenalin saya terpacu untuk turut merasakan rintangan yang menghadang para pendaki gunung es situ. Di lain waktu saya hampir dibuat menangis akibat kepergian beberapa orang dalam cerita tersebut. Hei, bahasanya sungguh menyentuh dan membuat haru. Aseli, deh!

Dan selalu, bagi saya yang paling menarik adalah mengetahui eksekusi akhir dari sebuah novel. Apakah ending-nya sejalan dengan alur yang digulirkan sejak awal. Lalu, adakah kaitannya dengan judul novel yang dibuat? The Lost Java ternyata mampu memberikan kelegaan di hati saya. Ending yang baik meski penyelesaian kasus seputar nasib ayah Gia belum jua tuntas.

Terakhir, novel ini boleh jadi bukan hanya merupakan sebuah peringatan agar kita selalu waspada terhadap konspirasi yang dilancarkan zionis tanpa kita sadari, atau bagaimana setiap kita mampu berperan serta menjaga bumi, terlepas dari benar atau tidaknya isu seputar global warming. Bagi saya, novel ini menjadi sebuah harapan bahwa Indonesia kelak akan melahirkan putra-putri bangsa yang memiliki sumbangsih besar dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tanpa melupakan jati dirinya sebagai seorang muslim.

Ke depan, semoga semakin banyak novel bertema sci-fiction di Indonesia yang mampu menambah khazanah ilmu bagi para pembacanya.


Judul | The Lost Java
Penulis | Kun Geia
Penerbit | IG Press
Terbit | Juni, 2012
Tebal | xvi + 363 hlm.
ISBN | 978-602-18409-0-0

Saturday, October 6, 2012

Ping!: Pesan Konservasi dalam Sebuah Novel

Ping!

Di zaman teknologi sekarang ini, ping boleh jadi diartikan sebagai sebuah alert bagi para pengguna smartphone Blackberry. Lantas, apakah novel dengan judul Ping! a Message From Borneo ini mengadaptasi bunyi ping pada Blackberry Messenger? Entah. Yang pasti, duo penulis peraih juara pertama lomba novel 30 Hari 30 Buku Bentang Belia ini memang berhasil memberikan peringatan tentang konservasi alam dan satwa langka melalui bacaan ringan khas remaja ini.

Berkisah tentang dua tokoh utama, Ping dan Molly, yang dipertemukan dalam sebuah kawasan konservasi orangutan di Samboja, Kalimantan Timur. Ping adalah orangutan yang harus berpisah dengan ibunya setelah tembakan pemburu liar bertubi-tubi mengenai tubuh sang bunda. Ping kemudian diselamatkan Jong dan memulai kehidupan baru bersama Jong dan ibunya. Ping memanggilnya Ibu.

Sayang, belum sempat ia bangkit dari kesedihan sepeninggal perpisahannya dengan sang bunda, Ping harus kembali mengukir luka setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Ibu, orangutan yang menyayanginya seperti anaknya sendiri, terkapar tak berdaya. Ping sendiri yang berusaha menolong Ibu justru ikut terkena perangkap para pemburu liar. Ping dimasukkan ke kardus dengan lubang udara yang sempit. Ia siap dijual.

Ping yang selamat dari upaya jual beli satwa langka kemudian dibawa ke Samboja. Di sanalah, untuk pertama kalinya, ia bertemu Molly, Si Mata Bening yang memiliki ketertarikan yang tinggi pada kegiatan konservasi alam dan tulis menulis. Bersama Nick dan Andy, dua bule yang memiliki minat yang sama dengan Molly, mereka belajar banyak hal tentang keberadaan orangutan yang kian terancam akibat semakin sempitnya hutan tempat orangutan tinggal. Dan menjadi kian rumit karena masyarakat lebih menyukai hutan tersebut diubah menjadi lahan kelapa sawit yang secara instan lebih memiliki nilai jual.

Apakah Ping mampu mengatasi depresinya yang berkepanjangan? Akankah Molly, dengan sumbangan tulisannya, juga mampu menggugah orang lain, termasuk Archie sahabatnya, untuk lebih aware terhadap nasib hutan dan orangutan di Kalimantan?

189 halaman novel ini memang terlalu sedikit untuk memperdalam konflik yang terjalin di dalamnya. Seberapa pentingnya melestarikan orangutan, undang-undang apa yang melindungi satwa langka tersebut, apa saja sangsi yang didapat para pemburu dan pembalak liar, serta bagaimana masyarakat bisa turut serta berperan dalam konservasi orangutan, mungkin hal tersebut dapat disertakan ke dalam konflik yang ada.

Namun, secara umum, pesan dalam novel ini tersampaikan dengan baik lewat penuturan yang seadanya dan apa adanya. Riawani Elyta mampu membuat alur cerita Molly yang sederhana menjadi penuh kesan. Ending-nya pun begitu manis. Shabrina WS sendiri yang dikenal piawai dalam menulis cerita fabel memberikan sentuhan lembut pada karakter Ping yang menyimpan segenggam luka.

Oh, saya menyukai bagian ketika Ping menggambarkan kondisinya serta lingkungan sekitarnya sesuai dengan nalar yang terasa dekat dengan kehidupan orangutan: rasa sepi yang digambarkan seperti tertusuk duri-duri salak hutan (hal. 71), atau rangkaian peristiwa yang dialaminya seperti sulur-sulur yang saling berkaitan (hal. 126). Manis sekali.

Satu hal yang bagi saya agak janggal -dan ini mungkin terlalu teknis- yaitu tentang Molly yang membawa travel bag ke Kalimantan (hal. 35). Aneh. Karena dalam novel ini, Molly digambarkan sebagai seseorang yang pernah aktif di LSM Gerakan Penyelamatan Satwa Langka (GSPL). Setidaknya, ia tahu bahwa ransel/backpack lebih cocok dibawa ke lapangan dibanding travel bag. Oya, satu lagi, baru kali ini saya menemukan seseorang yang memakai piyama sebagai pakaian tidurnya saat berada di basecamp (hal. 80). Rapi banget ^^v

Terakhir, salut untuk misi yang dibawa oleh dua penulis yang tak pernah bersitatap secara langsung ini. Sejujurnya, saya merinding sejak pertama kali membaca ucapak terima kasih di halaman pembuka novel tersebut. Betapa upaya konservasi alam dan satwa langka sesungguhnya dapat dilakukan oleh siapa saja dengan metode apapun. Meski mereka bukan lulusan Biologi, meski tak pernah sekalipun menjejak Kalimantan -ah, saya sungguh tertohok pada bagian ini-.

Seperti segmentasi yang memang diharapkan di awal, semoga buku ini memang menjadi bacaan yang mengesankan bagi remaja-remaja di penjuru Indonesia. Hingga membuka kembali ruang-ruang berpikir mereka, agar tak melulu membahas cinta, boyband, atau sekadar menari a la Gangnam Style. 

Novel Ping & Greeny ^^



***
Judul | Ping! a Message From Borneo
Penulis | Riawani Elyta & Shabrina WS
Penerbit | Bentan Belia
Tahun Terbit | 2012
Tebal | 142 hlm.
ISBN | 978-602-9397-17-8

Di Balik Testimoni Sang Pemetik Cahaya

Assalamu'alaikum. Hai Ai, gmn kabarnya? Aku sekarang lagi di Jakarta. Di kemayoran. #sekilas info# ;))
Ohya, Ai maukah engkau memberikan testimoni untuk bukuku yg mrp kumpulan tulisan2 di FB? Buku ini utk sovenir walimah :)

Itulah pesan pembuka tentang tawaran seorang kawan mayaku yang beberapa bulan lalu telah melangsungkan akad nikahnya. Testimoni? Oh, aku sangat menyukainya! ^^

Bukankah menjadi orang yang pertama kali membaca naskah seseorang sebelum bukunya diterbitkan itu menyenangkan? Okelah, tambahannya, nama kita nanti akan terpampang di kaver buku sang penulis. Kita juga bisa membubuhkan embel-embel di belakang nama kita sekehendak kita --dan aku selalu menyukai bagian ini, saat promosi terselubung bukuku dapat terlaksana, hahaha--

Sang Pemetik Cahaya hanya memberiku waktu kurang dari dua hari untuk membuat testimoni. Wews... Sejujurnya, itu terlalu cepat! Terlebih aku membutuhkan suasana yang nyaman, jauh dari keramaian lingkungan, juga kegalauan hati #eaaa. Dan akhirnya aku memang telat mengirimkan testimoniku, hiks.. Maaf MasChif -_-v

SPC dan kertas kado pembungkusnya yang unyu-unyu :D

Satu pekan setelah walimatul 'urs-nya dilangsungkan, kiriman paket itu datang. Sebuah buku dengan ucapan terima kasih dari kedua mempelai tertera di kaver depannya. Yang membuatku terharu, testimoniku ternyata diletakkan di kaver depan buku Sang Pemetik Cahaya --lengkap dengan embel-embelnya, haha--

Mau tau testimoni apa yang kuberikan untuk buku tersebut? Here it is:

"Benarlah bahwa selalu ada cahaya yang bisa dipetik dalam keseharian hidup kita. Setidaknya, itulah yang dilakukan sang penulis. Lewat untaian kata yang puitis, ia membagi cahaya itu pada siapa saja yang membaca buku ini."
Sari Yulianti, Penulis buku Surga di Telapak Kaki Ayah

Aseli, bahasa yang digunakan dalam tulisan Chifrul el Hamasah aka MasChif memang cenderung puitis. Padahal ini bukan puisi loh! Hanya kumpulan kisah-kisah inspiratif yang dialami penulis dalam kesehariannya. Tapi jadinya malah membawa nuansan melankoli, tapi tidak melemahkan. Nah, bingung, kan? Sama. #eh ^^a

Bukunya tipis saja. Hanya 95 halaman --tapi toh masih lebih tebal dibanding bukuku, wekeke-- Rsaanya bisa dibaca sekali duduk. Asyik juga dijadikan teman dalam penantian #apasih --yaa maksudnya kalo lagi nunggu enaknya kan emang baca buku ^o^

Oya, kritikan untuk buku ini --mungkin cenderung teknis, tapi agak nyebelin, hehe--
Ada banyak spasi yang kurang di awal kalimat (setelah tanda titik). Agak terganggu ngeliatnya. Bawaannya pengen tak edit aja. haha.. 

Baiklah, sekian.


di sisi awan, aku menunggui hujan.
sebab, di sinilah pelangi akan jatuh di sekujur badan
di sisi awan, aku-kamu menunggui hujan.
sebab, di sini dada akan menjadi lapang

Pun, seandainya duka mendera, maka tak akan ada yang tahu bahwa dalam gerimis,
ada airmata kita yang tertumpah.

(Sang Pemetik Cahaya, hal. 17)

Berpetualang Bersama Giganto

Hilangnya seorang bocah bernama Ruhai di Hutan Larangan menjadi alasan yang menguatkan Chaudry Teja untuk melibatkan Erwin Danu dalam ekspedisi bersama timnya. Tujuan utama Chaudry ke Hutan Larangan adalah untuk menemukan Dr. Yudha Komara yang hilang selama enam tahun terakhir di hutan tersebut. Namun di balik itu semua, ada sebuah ambisi untuk mencari jejak lain: seekor Gigantopithecus, primata purba setinggi 3 m yang konon sudah punah ratusan ribu tahun yang lalu tetapi masih lestari di pedalaman hutan Kalimantan.

Hutan Larangan adalah hutan keramat bagi warga Sekayan. Mereka tak peduli ada atau tidaknya Gganto di hutan tersebut. Yang mereka tahu, di dalam hutan yang tak terjamah itu terdapat batutut, mahkluk mengerikan yang telah menewaskan beberapa warga mereka dengan sangat mengenaskan. Kalaupun selamat, mereka akan mengalami gangguan kejiwaan akibat trauma terhadap batutut tersebut.

Erwin, seorang peneliti orang utan di Hutan Sekayan, yang awalnya enggan terlibat dalam urusan Chaudry, akhirnya pergi bersama ke Hutan Larangan. Ada dua tim besar: tim Erwin yang terdiri atas Erwin, Ruja (ayah Ruhai), Eram (warga Sekayan), dan beberapa warga Sekayan lainnya. Sedangkan tim Chaudry meliputi Chaudry, Martin, Tran, Ruth, dan beberapa "pembantu" lapangan dalam timnya.

Saat mereka menemukan kapal Ruhai yang koyak, Martin justru hilang dalam rimbanya hutan. Tim akhirnya terbagi dua, antara mencari Ruhai dan Martin. Dalam pencarian tersebut, muncul kejanggalan-kejanggalan serta penemuan tak terduga. Benarkah Dr. Komara masih hidup? Apakah di Hutan Terlarang benar-benar masih terdapat Giganto yang keberadaannya selalu diyakini Tran? Lalu, akankah Ruhai dan Martin dapat ditemukan Erwin dkk?

Rasanya sudah lama sekali saya tak menyentuh buku bergenre petualangan semacam ini. Temanya yang terasa begitu dekat dengan kehidupan saya saat di kampus dulu menjadi sisi menarik tersendiri. Rasanya diri ini ikut terlibat dalam ekspedisi ke Hutan Terlarang tersebut. Emosi erasa terpacu bersama kejutan yang setahap demi setahap dimunculkan dalam novel ini.

Salut dengan deskripsi sang penulis dalam menggambarkan setiap detil hutan, meliputi suasana, lansekap, hingga karakter hewan dan tetumbuhan di dalamnya. Lihatlah penggambaran penulis dalam satu paragraf berikut:
“Sekarang Julag menurunkan badannya, bertumpu pada keempat kakinya seperti yang dilakukan orangutan saat berjalan. Ruhai mendekatinya dengan perlahan. Belum pernah ia sedekat ini dengan binatang yang ditakutinya ini, kecuali saat tidur. Ia bahkan belum pernah menyaksikan wajah Julag sedekat ini. Kini ia bisa menyaksikan semuanya. Wajah kera itu kehitaman dengan dua gelambir di kedua pipinya. Moncongnya panjang dan besar dengan lubang hidung yang mirip celah yang panjang. Ia bisa menyaksikan mulut yang besar. Mulut itu bisa saja menelannya dengan mudah jika Julag mau. Tapi ia yakin Julag tak akan melakukannya. Dari balik bibirnya yang tipis, Ruhai bisa melihat lidah yang kemerahan dan gigi-giginya yang sangat besar. Wajah Julag dikelilingi rambut-rambut panjang mirip jenggot berwarna coklat tua kemerahan. Kepalanya dihiasi daging yang mirip gundukan kecil di atas kepalanya, membuat kepalanya nampak seperti kerucut.” -hal. 200-201

Buku ini bukan hanya membahas tentang ilmu sains: primatologi, paleontologi, dan evolusi. Tapi juga tentang pesan-pesan penting terkait kelestarian hutan dan makhluk-makhluk di dalamnya. Membaca buku ini juga membuat saya begitu penasaran dengan sosok penulis. Melihat kepiawaiannya dalam bercerita dengan tema khusus ini, membuat saya ingin tahu latar belakang sang penulis. Apakah background-nya berkaitan dengan biologi atau hanya mengandalkan studi literatur semata? Sayangnya, saya tak menemukan satu barispun biodata penulis di dalam buku ini.

Dari hasil googling, terjawab sudah: Dia seorang Biolog! Yeaaah..! ^^v
Blognya ternyata masih aktif. Silakan mampir ke sini


Judul | Giganto: Primata Purba Raksasa di Jantung Borneo
Penulis | Koen Setyawan
Penerbit | Edelweiss
Tahun Terbit | 2009
Tebal | 440 hlm.
ISBN | 978-979-19624-7-6