Resensi The Lost Java:
Ada Konspirasi dalam Isu Pemanasan Global
Berhubung tema novel The Lost Java ini bisa dibilang cukup berat -buat
saya-, maka resensi kali ini boleh jadi akan keluar -sedikit- dari pakem yang
ada. Mari kita perbincangkan buku ini dengan lebih santai.
(menyeruput kopi)
Seorang kawan mempromosikan The Lost Java (TLJ) di sebuah
grup menulis yang saya ikuti. Sebuah novel sci-fiction.
Sejujurnya, itu bukanlah tema yang menarik minat saya untuk membacanya. Maka, saat
saya diseret masuk ke dalam grup pembaca TLJ dan buku sci-fiction lainnya, keinginan untuk membacanya belum juga
memuncak.
Hingga kemudian, di sebuah toko buku, saya menemukan TLJ
tertumpuk manis di antara buku-buku yang baru terbit. Great! Awalnya saya pikir buku ini akan sangat sulit ditemukan,
mengingat penerbitnya, IG Press, cukup asing di telinga saya. Tapi ternyata
mudah juga mendapatkan buku bersampul biru tersebut. Meski kavernya terlalu
biasa, namun endorsement yang
diberikan serta gaya bahasa yang digunakan sukses membuat saya memutuskan
membawa TLJ hingga kasir. Sebagus apakah buku tersebut? Semua baru bisa
disimpulkan setelah membacanya.
Sebagian orang mungkin akan menjauhi genre sci-fiction, apalagi yang berbau
konspirasi, dalam daftar bacaannya. Saya sendiri termasuk dalam yang sebagian
itu. Terbiasa dengan bacaan yang ringan seringkali membuat kening saya berkerut
ketika membaca suatu buku yang memuat banyak data dan teori. Kabar baiknya,
novel ini menggunakan bahasa yang mengalir hingga tak terasa halaman demi
halaman bisa dibaca sampai tuntas.
“Kami adalah negara kepulauan.
Sampai saat ini, kami telah kehilangan 52 pulau. Sebentar lagi, pulau tempat
ibukota kamipun terancam tenggelam akibat banjir permanen dan terkikisnya
pesisir pantai. Rakyat kami sedang diparut ketakutan. Demi Allah. Save the earth now or there will be no day
after this year.”
Oke, saya buka ulasan ini dengan pernyataan yang disampikan
oleh Dr. Gia Ihza M. Sc di pertemuan antarpeneliti dalam acara IPCC
(Intergovernmental Panel on Climate Change). Gia, peneliti asal Indonesia ini
menjadi salah satu peserta symposium yang akan melaporkan data-data apa saja
yang berkaitan dengan isu perubahan iklim akibat global warming yang mengancam
dunia. Uhuy, keren, kan? Ada peneliti
Indonesia yang bersuara di tingkat Internasional ^^b
Gia
tergabung dalam Garuda Putih Labolatory (Garpu Lab), sebuah laboratorium
penelitian yang fokus pada pembuatan formula untuk membuat hujan badai buatan
di Antartika. Misi utamanya adalah mempertahankan methane hydrates yang menjadi faktor penting
dalam efek rumah kaca tetap tertimbun di dalam es. Penelitian di Laboratorium
tersebut dikembangkan sejak 35 tahun yang lalu oleh tiga sekawan: Prof. Deni,
Prof. Riyadi, dan Prof. Wahyu.
Untuk menjaga kerahasiaan misi tersebut, pengembangan dilakukan di tiga
titik yang berbeda. Prof. Riyadi di Colorado, Prof. Wahyu di Tel Aviv,
sedangkan Prof Deni bertanggung jawab terhadap Garpu Lab yang terletak di suatu
tempat yang amat tersembunyi di Bandung. Masing-masing peneliti senior tersebut
memiliki asisten: para peneliti muda dari berbagai negara yang sudah meraih
gelar doktor hingga professor.
Dari
Swiss, ke Tel Aviv, lalu Colorado, Jakarta, hingga Bandung. Alur cerita
bergulir dalam bentuk potongan-potongan cerita yang berpindah dari satu tempat
ke tempat lain. Ketegangan yang tercipta sejak selesainya IPCC di Swiss
berlanjut pada serangkaian serangan yang menewaskan Prof. Wahyu dan Prof.
Riyadi. Sinyal merah yang sampai ke Garpu Lab menjadi pertanda bahwa misi
mereka telah terendus dan siap untuk digagalkan.
Tak ada waktu lagi. Misi untuk menyelamatkan bumi itu harus
dipercepat. Maka, dibentuklah tim WAR (Warriors of Antartic) yang akan
menembakkan formula yang telah dibuat ke awan Cumulus di puncak Vinson Massif,
Antartika. Misi ini pernah dilakukan sebelumnya, namun sayangnya gagal. Tim WAR
sendiri terdiri dari Gia, Davis (murid Prof. Riyadi), Joda (murid Prof Wahyu),
Sharma (adik Joda sekaligus kekasih Devis), Rio (anak dari Prof. Riyadi), dan
Mahmoud (captain jet sekaligus mata
bagi pendakian ke gunung es Vinson Massif).
Sesungguhnya, bukan hanya waktu yang mengancam misi mereka.
Ada kekuatan besar di balik itu semua yang menghendaki kekuasaan mutlak di muka
bumi ini. Adalah Dark Star Knight,
sebuah organisasi Yahudi Internasonal yang menjadi otak dari serangkaian
serangan yang terjadi sebelumnya. Tujuan mereka tak lain adalah merebut formula
yang dibawa oleh Tim WAR dan menggagalkan misi tersebut.
Kawanz, pernahkah terpikir di benak kita bahwa isu global warming atau pemanasan global
ternyata hanyalah sebuah konspirasi belaka?
Inilah tema besar yang dibawa Kun Geia dalam The Lost Java.
Bahwa permasalahan bukan lagi pada seberapa besar akibat yang ditimbulkan oleh
pemanasan global, namun tentang bagaimana fakta-fakta seputar pemanasan global
yang digulirkan lewat media dapat menjadi amunisi yang baik untuk mewujudkan
ketidakstabilan negara. Hingga akhirnya, mereka yang lemah akan mudah
digerakkan layaknya boneka.
Tanpa diketahui rakyatnya, jika tidak ada masalah, maka ciptakanlah!
Jika tidak punya musuh, maka carilah! Dengan begitu pemerintah akan terus
dipercaya oleh rakyatnya untuk melindungi mereka. -hal. 139
The Lost Java memang sarat akan ilmu pengetahuan. Tidak
tanggung-tanggung, data ilmiah serta informasi seputar bagaimana formula itu
bekerja dan hal-hal yang berkaitan dengan pendakian gunung es dibahas dengan
sangat detil. Bahkan, tak jarang istilah asing yang termuat disertai foot note untuk memperjelasnya. Salut
atas kegigihan penulis dalam menyajikan data yang lengkap.
Satu hal yang tak terungkapkan adalah latar belakang para
peneliti tersebut. Jika berkaca pada nasib para peneliti di Indonesia yang bisa
dibilang kurang mendapat perhatian dari pemerintah, maka melihat sosok para
peneliti di GarPu Lab tentu menimbulkan rasa takjub tersendiri. Darimana mereka
memiliki dana yang amat besar untuk membiayai proyek penelitian tersebut? Seberapa
tangguh mereka hingga bisa bersaing dengan kelompok Yahudi Internasional dalam
hal konspirasi?
Yang cukup mengganggu adalah interaksi yang terjalin antara
Gia dan Dr. Husna. Husna adalah putri dari Prof. Deni. Karena misi ke Vinson
Massif yang dipercepat, pernikahan Gia dan Husna yang awalnya direncanakan
berlangsung dua bulan setelah kepulangan Gia dari Swiss akhirnya dipercepat
hingga sebelum tim WAR berangkat ke Antartika.
Entah karena tak ingin meninggalkan kesan berat dalam tema
yang diusung, atau menyadari bahwa genre romance
amat disukai oleh segala kalangan, penulis kemudian menyisipkan nuansa roman
dalam novel karangannya. Yang sayangnya, hal ini terkesan dipaksakan dan
membuat TLJ sedikit melenceng dari tema cerita yang sudah dibuat. Akhirnya,
saya geli sendiri setiap kali romansa
itu muncul sebagai selingan di tengah adrenalin yang memuncak saat mengikuti
petualangan tim WAR.
Oh, bahkan prosesi
pernikahan Gia dan Husna -lengkap dengan khutbah nikahnya- yang diulas dalam
satu chapter tersendiri itu cenderung
berlebihan. Meniadakan atau setidaknya mempersingkat bagian itu menurut saya
tak membuat novel ini kehilangan gregetnya.
Terlepas dari nuansa roman yang -gagal- dibangun, TLJ sukses
mengaduk emosi saya sebagai pembaca. Saya hanyut terbawa alur cerita yang
membikin penasaran. Sekian menit adrenalin saya terpacu untuk turut merasakan
rintangan yang menghadang para pendaki gunung es situ. Di lain waktu saya
hampir dibuat menangis akibat kepergian beberapa orang dalam cerita tersebut.
Hei, bahasanya sungguh menyentuh dan membuat haru. Aseli, deh!
Dan selalu, bagi saya yang paling menarik adalah mengetahui
eksekusi akhir dari sebuah novel. Apakah ending-nya
sejalan dengan alur yang digulirkan sejak awal. Lalu, adakah kaitannya dengan
judul novel yang dibuat? The Lost Java ternyata mampu memberikan kelegaan di
hati saya. Ending yang baik meski
penyelesaian kasus seputar nasib ayah Gia belum jua tuntas.
Terakhir, novel ini boleh jadi bukan hanya merupakan sebuah
peringatan agar kita selalu waspada terhadap konspirasi yang dilancarkan zionis
tanpa kita sadari, atau bagaimana setiap kita mampu berperan serta menjaga
bumi, terlepas dari benar atau tidaknya isu seputar global warming. Bagi saya, novel ini menjadi sebuah harapan bahwa
Indonesia kelak akan melahirkan putra-putri bangsa yang memiliki sumbangsih
besar dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tanpa melupakan jati
dirinya sebagai seorang muslim.
Ke depan, semoga semakin banyak novel bertema sci-fiction di Indonesia yang mampu
menambah khazanah ilmu bagi para pembacanya.
Judul | The Lost Java
Penulis | Kun Geia
Penerbit | IG Press
Terbit | Juni, 2012
Tebal | xvi + 363
hlm.
ISBN | 978-602-18409-0-0
Wah, kayaknya bagus. Saya belum pernah baca novel sci-fi dalam negeri. Jadi pengen baca.
ReplyDeletesaya bukan penikmat novel sci-fi, baik dalam n luar negeri, sih yaa.. jadi review kali ini memang subjektif banget. karena saya bisa menuntaskannya (juga faktor lain yang sudah disebutkan di revie) maka saya kasih bintang 4 untuk buku ini :D
Deletegenrenya sama kayak buku2nya rizki ridyasmara gitu ya mbak (?)
ReplyDeletepengen~
iyaa... tapi ini konspirasinya dikaitkan dengan global warming gitu ^^
Deletemudah ditemukan di toko buku kok. sila dibeli :D
Kayaknya kereeen~
ReplyDeleteJarang ada sci-fi lokal ya
iya, jarang. meski banyak kekurangan -apalagi kalo dibandingin sama karya luar- tapi salutlah ada yang berani nulis di genre ini ^^
Delete