Monday, October 15, 2012

The Lost Java: Ada Konspirasi dalam Isu Pemanasan Global


Resensi The Lost Java:
Ada Konspirasi dalam Isu Pemanasan Global


Berhubung tema novel The Lost Java ini bisa dibilang cukup berat -buat saya-, maka resensi kali ini boleh jadi akan keluar -sedikit- dari pakem yang ada. Mari kita perbincangkan buku ini dengan lebih santai.

(menyeruput kopi)


Seorang kawan mempromosikan The Lost Java (TLJ) di sebuah grup menulis yang saya ikuti. Sebuah novel sci-fiction. Sejujurnya, itu bukanlah tema yang menarik minat saya untuk membacanya. Maka, saat saya diseret masuk ke dalam grup pembaca TLJ dan buku sci-fiction lainnya, keinginan untuk membacanya belum juga memuncak.

Hingga kemudian, di sebuah toko buku, saya menemukan TLJ tertumpuk manis di antara buku-buku yang baru terbit. Great! Awalnya saya pikir buku ini akan sangat sulit ditemukan, mengingat penerbitnya, IG Press, cukup asing di telinga saya. Tapi ternyata mudah juga mendapatkan buku bersampul biru tersebut. Meski kavernya terlalu biasa, namun endorsement yang diberikan serta gaya bahasa yang digunakan sukses membuat saya memutuskan membawa TLJ hingga kasir. Sebagus apakah buku tersebut? Semua baru bisa disimpulkan setelah membacanya.

Sebagian orang mungkin akan menjauhi genre sci-fiction, apalagi yang berbau konspirasi, dalam daftar bacaannya. Saya sendiri termasuk dalam yang sebagian itu. Terbiasa dengan bacaan yang ringan seringkali membuat kening saya berkerut ketika membaca suatu buku yang memuat banyak data dan teori. Kabar baiknya, novel ini menggunakan bahasa yang mengalir hingga tak terasa halaman demi halaman bisa dibaca sampai tuntas.

“Kami adalah negara kepulauan. Sampai saat ini, kami telah kehilangan 52 pulau. Sebentar lagi, pulau tempat ibukota kamipun terancam tenggelam akibat banjir permanen dan terkikisnya pesisir pantai. Rakyat kami sedang diparut ketakutan. Demi Allah. Save the earth now or there will be no day after this year.

Oke, saya buka ulasan ini dengan pernyataan yang disampikan oleh Dr. Gia Ihza M. Sc di pertemuan antarpeneliti dalam acara IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Gia, peneliti asal Indonesia ini menjadi salah satu peserta symposium yang akan melaporkan data-data apa saja yang berkaitan dengan isu perubahan iklim akibat global warming yang mengancam dunia. Uhuy, keren, kan? Ada peneliti Indonesia yang bersuara di tingkat Internasional ^^b

Gia tergabung dalam Garuda Putih Labolatory (Garpu Lab), sebuah laboratorium penelitian yang fokus pada pembuatan formula untuk membuat hujan badai buatan di Antartika. Misi utamanya adalah mempertahankan methane hydrates yang menjadi faktor penting dalam efek rumah kaca tetap tertimbun di dalam es. Penelitian di Laboratorium tersebut dikembangkan sejak 35 tahun yang lalu oleh tiga sekawan: Prof. Deni, Prof. Riyadi, dan Prof. Wahyu.

Untuk menjaga kerahasiaan misi tersebut, pengembangan dilakukan di tiga titik yang berbeda. Prof. Riyadi di Colorado, Prof. Wahyu di Tel Aviv, sedangkan Prof Deni bertanggung jawab terhadap Garpu Lab yang terletak di suatu tempat yang amat tersembunyi di Bandung. Masing-masing peneliti senior tersebut memiliki asisten: para peneliti muda dari berbagai negara yang sudah meraih gelar doktor hingga professor.

Dari Swiss, ke Tel Aviv, lalu Colorado, Jakarta, hingga Bandung. Alur cerita bergulir dalam bentuk potongan-potongan cerita yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ketegangan yang tercipta sejak selesainya IPCC di Swiss berlanjut pada serangkaian serangan yang menewaskan Prof. Wahyu dan Prof. Riyadi. Sinyal merah yang sampai ke Garpu Lab menjadi pertanda bahwa misi mereka telah terendus dan siap untuk digagalkan.

Tak ada waktu lagi. Misi untuk menyelamatkan bumi itu harus dipercepat. Maka, dibentuklah tim WAR (Warriors of Antartic) yang akan menembakkan formula yang telah dibuat ke awan Cumulus di puncak Vinson Massif, Antartika. Misi ini pernah dilakukan sebelumnya, namun sayangnya gagal. Tim WAR sendiri terdiri dari Gia, Davis (murid Prof. Riyadi), Joda (murid Prof Wahyu), Sharma (adik Joda sekaligus kekasih Devis), Rio (anak dari Prof. Riyadi), dan Mahmoud (captain jet sekaligus mata bagi pendakian ke gunung es Vinson Massif).

Sesungguhnya, bukan hanya waktu yang mengancam misi mereka. Ada kekuatan besar di balik itu semua yang menghendaki kekuasaan mutlak di muka bumi ini. Adalah Dark Star Knight, sebuah organisasi Yahudi Internasonal yang menjadi otak dari serangkaian serangan yang terjadi sebelumnya. Tujuan mereka tak lain adalah merebut formula yang dibawa oleh Tim WAR dan menggagalkan misi tersebut.

Kawanz, pernahkah terpikir di benak kita bahwa isu global warming atau pemanasan global ternyata hanyalah sebuah konspirasi belaka?

Inilah tema besar yang dibawa Kun Geia dalam The Lost Java. Bahwa permasalahan bukan lagi pada seberapa besar akibat yang ditimbulkan oleh pemanasan global, namun tentang bagaimana fakta-fakta seputar pemanasan global yang digulirkan lewat media dapat menjadi amunisi yang baik untuk mewujudkan ketidakstabilan negara. Hingga akhirnya, mereka yang lemah akan mudah digerakkan layaknya boneka.

Tanpa diketahui rakyatnya, jika tidak ada masalah, maka ciptakanlah! Jika tidak punya musuh, maka carilah! Dengan begitu pemerintah akan terus dipercaya oleh rakyatnya untuk melindungi mereka. -hal. 139


The Lost Java memang sarat akan ilmu pengetahuan. Tidak tanggung-tanggung, data ilmiah serta informasi seputar bagaimana formula itu bekerja dan hal-hal yang berkaitan dengan pendakian gunung es dibahas dengan sangat detil. Bahkan, tak jarang istilah asing yang termuat disertai foot note untuk memperjelasnya. Salut atas kegigihan penulis dalam menyajikan data yang lengkap.

Satu hal yang tak terungkapkan adalah latar belakang para peneliti tersebut. Jika berkaca pada nasib para peneliti di Indonesia yang bisa dibilang kurang mendapat perhatian dari pemerintah, maka melihat sosok para peneliti di GarPu Lab tentu menimbulkan rasa takjub tersendiri. Darimana mereka memiliki dana yang amat besar untuk membiayai proyek penelitian tersebut? Seberapa tangguh mereka hingga bisa bersaing dengan kelompok Yahudi Internasional dalam hal konspirasi?

Yang cukup mengganggu adalah interaksi yang terjalin antara Gia dan Dr. Husna. Husna adalah putri dari Prof. Deni. Karena misi ke Vinson Massif yang dipercepat, pernikahan Gia dan Husna yang awalnya direncanakan berlangsung dua bulan setelah kepulangan Gia dari Swiss akhirnya dipercepat hingga sebelum tim WAR berangkat ke Antartika.

Entah karena tak ingin meninggalkan kesan berat dalam tema yang diusung, atau menyadari bahwa genre romance amat disukai oleh segala kalangan, penulis kemudian menyisipkan nuansa roman dalam novel karangannya. Yang sayangnya, hal ini terkesan dipaksakan dan membuat TLJ sedikit melenceng dari tema cerita yang sudah dibuat. Akhirnya, saya geli sendiri setiap kali romansa itu muncul sebagai selingan di tengah adrenalin yang memuncak saat mengikuti petualangan tim WAR.

Oh, bahkan prosesi pernikahan Gia dan Husna -lengkap dengan khutbah nikahnya- yang diulas dalam satu chapter tersendiri itu cenderung berlebihan. Meniadakan atau setidaknya mempersingkat bagian itu menurut saya tak membuat novel ini kehilangan gregetnya.

Terlepas dari nuansa roman yang -gagal- dibangun, TLJ sukses mengaduk emosi saya sebagai pembaca. Saya hanyut terbawa alur cerita yang membikin penasaran. Sekian menit adrenalin saya terpacu untuk turut merasakan rintangan yang menghadang para pendaki gunung es situ. Di lain waktu saya hampir dibuat menangis akibat kepergian beberapa orang dalam cerita tersebut. Hei, bahasanya sungguh menyentuh dan membuat haru. Aseli, deh!

Dan selalu, bagi saya yang paling menarik adalah mengetahui eksekusi akhir dari sebuah novel. Apakah ending-nya sejalan dengan alur yang digulirkan sejak awal. Lalu, adakah kaitannya dengan judul novel yang dibuat? The Lost Java ternyata mampu memberikan kelegaan di hati saya. Ending yang baik meski penyelesaian kasus seputar nasib ayah Gia belum jua tuntas.

Terakhir, novel ini boleh jadi bukan hanya merupakan sebuah peringatan agar kita selalu waspada terhadap konspirasi yang dilancarkan zionis tanpa kita sadari, atau bagaimana setiap kita mampu berperan serta menjaga bumi, terlepas dari benar atau tidaknya isu seputar global warming. Bagi saya, novel ini menjadi sebuah harapan bahwa Indonesia kelak akan melahirkan putra-putri bangsa yang memiliki sumbangsih besar dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tanpa melupakan jati dirinya sebagai seorang muslim.

Ke depan, semoga semakin banyak novel bertema sci-fiction di Indonesia yang mampu menambah khazanah ilmu bagi para pembacanya.


Judul | The Lost Java
Penulis | Kun Geia
Penerbit | IG Press
Terbit | Juni, 2012
Tebal | xvi + 363 hlm.
ISBN | 978-602-18409-0-0

6 comments:

  1. Wah, kayaknya bagus. Saya belum pernah baca novel sci-fi dalam negeri. Jadi pengen baca.

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya bukan penikmat novel sci-fi, baik dalam n luar negeri, sih yaa.. jadi review kali ini memang subjektif banget. karena saya bisa menuntaskannya (juga faktor lain yang sudah disebutkan di revie) maka saya kasih bintang 4 untuk buku ini :D

      Delete
  2. genrenya sama kayak buku2nya rizki ridyasmara gitu ya mbak (?)
    pengen~

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaa... tapi ini konspirasinya dikaitkan dengan global warming gitu ^^
      mudah ditemukan di toko buku kok. sila dibeli :D

      Delete
  3. Kayaknya kereeen~
    Jarang ada sci-fi lokal ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, jarang. meski banyak kekurangan -apalagi kalo dibandingin sama karya luar- tapi salutlah ada yang berani nulis di genre ini ^^

      Delete

Terima kasih untuk tidak meninggalkan pesan berbau SARA dan spam di sini ^^v