Saturday, August 11, 2012

Cinta dalam Sepucuk Angpau Merah

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah sejatinya bukanlah novel baru. Naskahnya pertama kali muncul pada bulan Juli 2010 melalui catatan di Facebook Tere Liye dan blog sang penulis. Naskah yang awalnya berjudul Kau, Aku & Kota Kita ini dibuat berseri dan diterbitkan hampir setiap hari. Kehadiran serialnya ditunggu ratusan pembaca setia penulis novel best-seller ini.

Tere Liye tak merasa takut jika ide novelnya dicuri atau justru dibajak. Iapun tak perlu khawatir novel “open source”-nya ini tak laku di pasaran. Ia memastikan bahwa novelnya nanti akan berbeda dengan versi aslinya, terutama di bagian ending. Dan benar saja, rasa penasaran justru membuat para pembacanya rela membeli KADSAM meski harganya relatif mahal.

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah (KADSAM). Pasti ada alasan mengapa judul novelnya kemudian berganti dari Kota Kita menjadi Angpau Merah. Tentu bukan hanya karena jadwal terbit novel KADSAM yang berbarengan dengan perayaan Imlek. Bisa dibilang, dari angpau merahlah semua bermula. Adalah Borno, pengemudi sepit (perahu kayu bermotor tempel) di Sungai Kapuas, yang terpesona pada pandangan pertama oleh sosok gadis berperanakan Cina yang menempati kursi penumpang di hari perdana Borno mengemudikan sepitnya.

Menjadi pengemudi sepit adalah pilihan terakhir. Setelah gonta-ganti pekerjaan, Borno akhirnya memutuskan untuk menggeluti pekerjaan yang “diharamkan” ayahnya itu. Dibesarkan dengan baik oleh sang ibunda, membuat Borno tumbuh menjadi pemuda berhati paling lurus sepanjang tepian Kapuas. Ayahnya meninggal akibat sengatan ubur-ubur saat Borno berusia dua belas tahun. Maka, persoalan barang yang tertinggal di sepitnya, meski hanya sebuah amplop, menuntut Borno untuk mengembalikan barang tersebut ke pemiliknya.

Amplop berwarna merah itu diduga milik gadis Cina berparas sendu menawan itu. Hal inilah yang semakin membuat Borno bersemangat untuk mengembalikan amplop tersebut. Meski kemudian Borno mengetahui bahwa amplop merah itu tidak sepenting yang ia kira, hanya sepucuk angpau yang dibagikan ke setiap pengemudi sepit, tapi ia terlanjur tertawan oleh senyum manis sang gadis dan berharap akan perjumpaan berikutnya.

Setelah tujuh hari mengatur strategi agar sang gadis bisa naik sepitnya untuk menyeberangi Sungai Kapuas -dan gagal- toh akhirnya Borno mendapatkan waktu yang tepat juga: pukul 07.15, antrian sepit nomor tiga belas. Dan setiap pagi, selama lima belas menit, menjadi waktu yang amat berharga bagi Borno. Bahwa gadis itu kemudian menumpang sepitnya. Bahwa gadis itu ternyata seorang guru magang. Bahwa gadis itu bernama Mei.

Sayang, saat Borno mulai menumbuhkan rasa cinta di hatinya, saat harapan mulai benderang, Mei harus kembali ke kota asalnya, Surabaya.

“Ibu, usiaku dua puluh tahun, selama ini tidak ada yang mengajariku tentang perasaan-perasaan, tentang salah paham, tentang kecemasan, tentang bercakap dengan seseorang yang diam-diam kau kagumi. Tapi sore ini, meski dengan menyisakan banyak pertanyaan, aku tahu, ada momen penting dalam hidup kita ketika kau merasa ada sesuatu yang terjadi di hati. Sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan. Sayangnya, sore ini juga menjadi sore perpisahanku, persis ketika perasaan itu mulai muncul kecambahnya.”
− Borno, hlm. 149

Betapapun Borno ingin melupakan Mei, sosok Si Sendu Menawan itu tetap tertambat di hatinya. Namun waktu seolah kembali memberi kesempatan pada Borno. Pertemuan kembali dengan Mei di Surabaya saat Borno mengantar Pak Tua terapi sekali lagi mendekatkan mereka berdua. Tak lama berselang, Mei pun kembali datang ke Pontianak. Dan hubungan yang maju mundur itupun akhirnya harus kembali diuji oleh kepergian Mei yang tiba-tiba.

Lantas, mengapa Mei memilih menjauh di saat hubungannya dengan Borno kian dekat? Siapa pula Sarah yang tiba-tiba menguak masa lalunya yang kelam? Akankah kisah cinta yang terjalin harus berakhir tanpa alasan yang jelas?

Sekali lagi Tere Liye menunjukkan kepiawaiannya dalam meramu kisah cinta yang sederhana menjadi luar biasa. Agaknya ia pun tak ingin mengangkat novel roman yang picisan. Mungkin akan terbersit tanya di hati pembaca, di zaman sekarang, masih adakah kisah cinta jadul a la Borno dan Mei? Dan seperti halnya dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, KADSAM tak melulu membahas kisah cinta antara dua insan. Ada pesan-pesan yang seperti biasa disampaikan Tere Liye dalam novel-novelnya.

KADSAM memang berbeda dengan novel roman kebanyakan. Dari KADSAM, pembaca belajar banyak hal tentang makna kehidupan. Terselip di antara obrolan yang santai dan terkadang jenaka, pembaca diajak untuk memahami tentang hidup sederhana namun tetap bersahaja, tentang rasa saling menolong di antara tetangga, tentang semangat untuk bangkit di tengah keterpurukan. Dan satu pelajaran yang utama, tentang bagaimana memaknai sebuah perasaan.

"Kau tahu, Borno. Perasaan adalah perasaan, meski secuil, walau setitik hitam di tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit, kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap padahal dunia sedang mendung, dan di kejap berikutnya mengubah harimu jadi buram padahal dunia sedang terang benderang."
− Pak Tua, hlm. 132

"Kau tahu, Nak, perasaan itu tidak sesederhana satu tambah satu sama dengan dua. Bahkan ketika perasaan itu sudah jelas bagai bintang di langit, gemerlap indah tak terkira, tetap saja dia bukan rumus matematika. Perasaan adalah perasaan."
− Pak Tua, hlm. 355

Ya, tak lengkap rasanya jika hanya membahas kisah cinta Borno dan Mei. Bisa dibilang, tokoh Borno akan tampak biasa-biasa saja jika tak didukung oleh tokoh lain, seperti Pak Tua, Andi, Koh Acong, Cik Tulani, dan tentu saja Bang Togar. Kehidupan di tepian Sungai Kapuas bersama mereka semakin menghidupkan karakter Borno.

Deskripsi yang detilpun masih menjadi keunggulan dalam karya yang dibuat Tere Liye. Penulis seolah tak ingin membuat novel yang nanggung. Maka, lihatlah bagaimana pembaca seolah masuk ke dalam cerita yang mengalir, menjadi bagian dari novel ini: menumpang sepit Borneo, jalan-jalan ke Istana Kadariah, menyibak keramaian Kota Surabaya, ikut serta menjelajah tempat-tempat wisata mulai dari Tugu Pontianak hingga Kota Kuching di Malaysia.

Tak hanya detil dalam deskripsi tempat, karakter masing-masing tokohpun cukup konsisten dari awal hingga akhir cerita. Ada Borno yang lurus hatinya, Mei yang lemah lembut namun misterius, Pak Tua dengan segala petuah bijaknya, juga Andi yang ceria. Ah, bahkan ada sosok Pak Sihol yang sabunnya sering hanyut, yang meski hanya tampil beberapa kali namun kehadirannya tak dapat dilupakan begitu saja. Dan gambaran kehidupan di tepi Sungai Kapuas semakin kental oleh aksen Melayu yang digunakan dalam dialog di antara penghuninya.

Satu hal yang disayangkan dalam novel ini, yaitu penulis menghilangkan satu bab dalam serial Kau, Aku, & Kota Kita yang menceritakan masa lalu Pak Tua. Bab tersebut seharusnya tetap dimasukkan agar mampu menjadi benang merah yang menjawab tanya di hati pembaca tentang sosok bujang tua yang kesehariannya tampak sederhana tapi sesungguhnya memiliki pengalaman hidup hingga ke ujung dunia. Meskipun Pak Tua bukanlah tokoh utama dalam novel ini, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa peran Pak Tua dalam kisah cinta Borno-Mei amat kental sekali.

“Dalam ceritaku ini, jangan pernah membantah Pak Tua. Untuk orang yang pernah mengelilingi separuh dunia, dia selalu benar.”
− Borno, hlm.  479

Bagi pembaca setia yang menginginkan gebrakan dalam setiap novel baru yang dibuat Tere Liye, mungkin akan sedikit menyimpan rasa kecewa dengan novel KADSAM. Meski membawa unsur lokalitas yang kental, tak ada yang benar-benar baru dalam penggarapan novel ini. Pembaca akan dihinggapi rasa bosan dengan pesan, karakter, dan gaya bertutur yang hampir tak jauh beda dengan karya Tere Liye lainnya.

Nilai tambah untuk KADSAM justru terlihat pada hampir tak ditemukannya kesalahan kata atau tanda baca dalam novel ini. Konsep open source nyatanya membuat para pembaca serial Kau, Aku & Kota Kita tak sungkan untuk mengoreksi kesalahan ketik sebelum naskah ini diserahkan ke penerbit. Para pembaca bahkan dilibatkan untuk memberi ide dan informasi yang berkaitan dengan KADSAM. Maka, tak heran jika di balik cover buku bersampul peach ini akan ditemukan testimoni dari beberapa orang yang mewakili para pembaca.

Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah nyatanya mampu membuat siapapun yang sedang jatuh cinta ingin mendapatkan atau bahkan menjadi sang bujang berhati paling lurus se-kotanya masing-masing. Selamat membaca! ^_^


 
Judul buku | Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis | Tere Liye
Penerbit | Gramedia Pustaka Utama
Cetakan | I, Februari 2012
Tebal buku | 512 hlm.
ISBN | 978-979-22-7913-9



tulisan ini diikutsertakan dalam lomba resensi yang diadakan oleh
Gramedia Pustaka Utama dan Tere Liye

No comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk tidak meninggalkan pesan berbau SARA dan spam di sini ^^v