Saturday, August 11, 2012

Dari Fiksi Fantasi Hingga Twitografi

Undangan acara diskusi tentang fiksi fantasi sudah didapatkan via akun goodreads. Acara tersebut diadakan oleh Penerbit Mizan bekerjasama dengan Goodreads Indonesia dan TM Bookstore Depok. Sebelumnya melalui twitter @mizandotcom diinfokan bahwa siapa saja ingin naskah fiksi fantasinya dibedah oleh Djokolelono bisa mengirimkan karyanya sebelum tanggal 25 Jan '12. Sayang aku melewatkan kesempatan emas itu.
 
Tak ingin melewatkan kesempatan emas lainnya, akupun memutuskan untuk datang ke acara diskusi yang diadakan hari Sabtu pk. 14.00 wib itu. Lumayanlah, selain mengisi waktu luang, aku bisa belajar tentang bagaimana membuat fiksi fantasi. Apalagi sedang ada lomba dengan genre tersebut.
 
Malang tak dapat ditolak, Mujur tak dapat diraih. Tentu ini pribahasa yang asal kumasukkan dalam reportase kali ini. Haha.. Aslinya mah aku lupa arti peribahasa itu. Jadi kalo nggak nyambung yaa mohon maaf lahir batin yaa ;p
 
Aku datang terlambat, kawan. Hujan yang datang sekehendaknya membuatku harus menunggu sejenak hingga cuaca benar-benar bersahabat. Tiba di TM Bookstore ternyata Djokolelono sudah selesai dengan materinya. Hwee... Tapi aku masih mendapat kesempatan mendengarkan uraian pembicara lainnya. Alhamdulillah yah.. :D
 
Pembicara yang hadir ada 3 orang, yaitu Djokolelono, Ami Raditya, dan Fredrik Nael. Djokolelono seperti yang kalian ketahui (kalo aku asli baru tau sama penulis dengan penampilannya yang nyentrik itu, lihat aja rambutnya yang mirip Ichigo, apa Gara yaa? #eh ^^v) merupakan penulis fiksi senior yang dalam kesempatan diskusi kali ini sekaligus mempromosikan novel fiksi fantasi terbarunya, Anak rembulan. Ami Raditya adalah founder hikayat Vandaria sedangkan Fredrik Nael salah satu finalis lomba Fantasi Fiesta yang rutin diadakan tiap tahunnya.
 
Setiap genre tulisan memiliki penggemarnya sendiri. Begitulah kesimpulan awal yang kudapatkan dari pengamatan sekilas para peserta yang hadir. Sepertinya setengahnya tergabung dalam grup yang sama: penyuka fiksi fantasi. Sisanya adalah aktivis Goodreads dan pengunjung TM Bookstore yang tak sengaja terjebak dalam diskusi itu.
 
Tulisan dengan genre fiksi fantasi merupakan tulisan dengan ide yang unik, sulit dibayangkan dapat terjadi di dunia nyata, tapi tak harus selalu menyajikan dunia baru atau dunia antah berantah. Ide-ide untuk membuat karya fiksi fantasi dapat ditemukan di mana saja. Dan yang menarik, sesungguhnya kita tak membutuhkan "guru" untuk menelurkan karya dengan genre ini. *kupikir maksudnya adalah semakin berkaca, semakin mengekor dan justru kehilangan ide segar dalam berfantasi.
 
Inilah yang kemudian disorot oleh Ami Raditya. Menurutnya, pembaca Indonesia kurang bisa menghargai karya anak bangsa, lebih bangga dengan karya2 luar negeri (yang sebenernya kalo kita liat secara kualitas emang lebih bagus sih, ups!). Lebih jauh lagi, industri di Indonesia seolah berjalan sendiri-sendiri. Tak ada kerja sama yang terjalin antara penulis, penerbit, bahkan mungkin perusahaan game online.
 
Ada satu pertanyaan menarik yang diajukan Ami, "Setelah kita menulis, apa yang kita lakukan?" Nyatanya, para pembaca karya kita nantinya menuntut untuk karya2 selanjutnya. Tapi seringkali para penulis hanya berpikir untuk membuat sekuel novel yang dibuatnya, atau justru membuat tulisan yang baru. Padahal kita bisa memikirkan untuk menjual novel kita dengan cara yang berbeda. Novel Vandaria, misalnya, memiliki hadiah kartu yang dapat dipakai untuk bermain kartu antar sesama gamer. Untuk bisa bermain, minimal ia harus memiliki 3 kartu. Otomatis, ia akan membeli 3 novel Vandaria untuk mendapatkannya.
 
~~dan otakku agak2 nggak nyampe untuk mempelajari konsep Vandaria lebih jauh :P
 
Menutup acara bertajuk "Berfantasi Tidak Dilarang" itu, berikut sedikit tips dari hasil tanya jawab yang ada:
 
  • jangan memaksakan setting. jadi kita nggak harus membuat suatu dunia baru sebagai setting tempatnya.
  • jangan sok berbahasa asing. Seolah menjadi trend, fiksi fantasi seringkali dibumbui nama tokoh atau lokasi yang asing padahal hal itu nggak harus dilakukan. Bahkan Djokolelono dalam buku Anak Rembulan mengambil setting suatu desa kecil di Indonesia dan ia mengapresiasi seorang peserta yang menggunakan nama tokoh khas Indonesia, Syifa misalnya..
  • jangan meniru karya yang sudah ada. yaiyalah... :D tapi maksudnya, jangan bikin setting yang mirip2 kayak LOTR atau Harry Potter. *atau tergantung cara kita memolesnya kali yaa? Serial Anak Mamak Tere Liye juga dibilang mengekor Laskar pelangi kok
  • Jangan tanyakan tips yang lainnya lagi. udah, cuma 3 itu aja :P  
 
Saat sesi tanya jawab itu aku membaca status Asma Nadia kalo bakal ada talkshow keluarga Asma Nadia di Gramedia Depok. Langsung saja ba'da sholat ashar, aku lalu menyeberang jalan menuju Gramed. Emm, sejujurnya hampir tak ada yang terlalu berkesan dalam acara talkshow sore itu selain voucher diskon dan beberapa suvenir yang kudapatkan di sana. Eaa..
 
Tapi melihat kekompakan keluarga penulis itu memang asyik juga. Betapa promo2 terselubung dapat dengan cerdas disisipkan dalam obrolan ringan bersama mereka. Kecuali Adam yang masih malu-malu, agaknya keluarga Asma Nadia itu memang memiliki communication skill yang amat baik. Dan aku pulang dengan membawa keyakinan bahwa kita bisa menjai penulis yang handal jika mau berjuang untuk meraihnya.
 
Selamat bermimpi, kawanz! ^^b

***
di balik 3 jendela,
29 Januari 2012 pk. 08.33 wib
eh, akun @rifzahra sempat disebut di acara itu :D

No comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk tidak meninggalkan pesan berbau SARA dan spam di sini ^^v