Saturday, August 11, 2012

Rasa yang Kadaluwarsa

"Jangan pernah menjaminkan rasa kepada waktu. Ia punya masa kadaluarsanya."

***

Butuh melintasi separuh belahan bumi untuk mengetahui semua sudah berubah di antara kami. Butuh waktu setengah tahun untuk menyadari bahwa saya tidak baik-baik saja selama ini. Dan hanya butuh sendiri selama dua puluh menit untuk memahami bahwa perasaan itu telah menepi. Diam-diam pergi tanpa permisi. Meninggalkan saya-dia sendiri.

Lalu, waktu menyadarkan saya. Semua punya masa kadaluwarsa. Termasuk rasa.

Saya simpulkan: semuanya telah selesai. Hubungan kami expired di waktu yang konon baik ini: triple ten. Saat kebanyakan pasangan berbondong-bondong ke Jembatan Pont Neuf, Paris, mengukuhkan perasaan cinta mereka, saya justru sebaliknya.

Kami benar-benar selesai. Yes, it's done already. Full stop. No coma, no space. There is no option but done itself.

Angin bertiup sedikit lebih kencang. Saya rapatkan syal yang membalut leher. Sudah waktunya kembali.

***

Pada akhirnya, semua harus memilih. Mana bisa kita terus berada di area abu-abu dan meminta waktu yang memutuskan.

Tidak. Waktu tak pernah memutuskan apa pun untuk kita. Kita yang harus bersikap.

Saya sakit. I am not fine. I am definitely in pain. Dan ternyata mengakuai bahwa saya tak cukup baik-baik saja justru membuat saya merasa lebih baik. It's not worth waiting for. I have to move on. Sometimes, we have to spend so much time coming up with a conclusion that we already know. Like me.

It was Sunday, October 10, 2010 when I decided to consider him as one of my friends.

Thank you for being very nice.

Dijon, 0ctober 10th, 2010
Windy Ariestanty
(dalam buku Life Traveler hal. 274-275)

***

Mungkin terlalu picisan. Tapi aku menemukan pesan yang kuat dalam tulisannya ini. Tak melulu soal cinta, tapi kita bisa memandangnya lebih luas lagi.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk tidak meninggalkan pesan berbau SARA dan spam di sini ^^v