Saturday, August 11, 2012

Mata Yang Indah: Cerpen PIlihan Kompas

Buku ini adalah kumcer kompas pertama yang saya baca. Mungkin juga saya mengambil tahun yang agak jadul, tahun 2001. Tapi yaa dapet buku pinjemannya di tahun itu, jadi mau bagaimana lagi? *alasan yang apa banget :P

Tapi tak masalah. Toh saya mendapat cukup banyak pelajaran dari cerpen2 yang tersaji di buku ini. Meski sudah diperingatkan di awal oleh si peminjam buku bahwa bahasan2 juga diksi yang dipakai agak berat *untuk ukuran saya yang dudul dalam hal sastra tepatnya --"* tapi akhirnya saya bisa melahap semuanya juga. Tepatnya lagi, memaksakan agar buku ini segera dituntaskann. Dan menyicil dalam membacanya agaknya memang satu tips jitu agar buku ini cepat selesai dibaca.

Dari total 16 cerpen yang termuat dalam buku ini, saya menjagokan "Deja Vu: Kathmandu" karya Veven Wardhana. Bercerita tentang pertemuan dua insan yang rasanya saling kenal, entah di mana. Seperti deja vu saja. Tapi akhirnya meski kedekatan yang begitu mudah terjalin, semua harus diputuskan. Perpisahan yang indah untuk pertemuan yang hanya sejenak. Ditulis dengan pergantian PoV yang teratur serta ending yang menghentak, seperti juga cerpen2 lain -dan memang begitulah seharusnya sebuah cerpen diakhiri- melengkapi keseluruhan cerpen yang menarik.

Ah, komentar saya ini tentu amat jauh dibanding komentar dua penulis tamu, Hasif Amini dan Alois A Nugroho. Catatan keduanya sesungguhnya amat membantu saya dalam menginterpretasikan setiap cerpen yang ada di dalam buku ini. Hasif Amini yang menjadi pembuka setiap cerpen dengan tulisannya yang berjudul "Cerita Pendek di Dunia Eksentrik" bukan hanya mengkritisi satu demi satu cerpen di sana tapi juga memberi tips-tips dalam membuat cerpen yang baik.

Jika seubah cerpen tidak sekadar bercerita, namun berminat (entah diam-diam atau terang-terangan) menawarkan keelokan dan kecanggihan pikiran serta bahasa, tentu ia menjanjikan pengalaman membaca yang berbeda, yang bisa asyik dan mengejutkan. Sebab, dalam cerpen demikian kita tak hanya bertemu dengan cerita, melainkan dengan peragaan sebuah (atau sejumlah) kemungkinan naratif yang bisa terbangun dari pelbagai anasir verbal. Memang tak selalu mudah dinikmati sebagai hiburan, cerita jenis itu; tindakan membaca tak jarang menjadi semacam pergelutan keras, petualangan aneh, meski kadang juga permainan gila-gilaan atau percumbuan yang ajaib. Seakan kata demi kata, bersama sunyi demi sunyi, bekerja (atau bermain) membuka sudut-sudut baru dunia, barangkali menangkap sisa-sisa gema dari seberkas puisi yang jauh dan tua itu, "Jadilah, maka jadilah!" --bukan sebagai titah, melainkan sandi, yang bisa saja tertangkap secara keliru (sambil siap dengan kejutan-kejutan), seperti "Yang terjadi, terjadilah!" -hal. xxiv

Jika di awal Hasif Amini sudah memberikan gambaran awal tentang masing2 cerpen, itu sebenarnya tak terlalu membantu karena judul2 yang dibahasnya terlalu asing. Tapi Alois A Nugroho melengkapiya. Menjadi penutup cerpen2 tersebut dengan tulisannya yang berjudul "Secuil Kehidupan, Setetes Pengalaman" seolah memberikan penekanan pada pembaca tentang maksud dari cerpen tersebut dibuat.

Btw, buku ini bagus, tapi saya tak terlalu suka dengan kaver bukunya. LIhatlah, simbol mata satu itu, tau kan maksudnya apa? ^^

No comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk tidak meninggalkan pesan berbau SARA dan spam di sini ^^v